Mengukur Kebenaran Tradisi Sesajen dalam Islam

oleh -dibaca 257 orang
Ilustrasi Sesajen

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya atau tradisi, karena hal itu merupakan kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya.

Salah satu karakter dasar dari setiap budaya atau tradisi adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Karena budaya atau tradisi itu merupakan ciptaan manusia, maka budaya bersifat beragam sebagaimana beragamnya manusia. Menghadapi itu, Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mengacu kepada maqolah (serangkaian kata bijak ulama) di bawah ini:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

Artinya: “Mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik.”

Maqolah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional (wajar). Oleh karena itu, ulama Aswaja tidak apriori terhadap tradisi, bahkan dalam fiqih menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hukum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqih:

العادة محكمة

Artinya: “Adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum.”

Selain itu, ulama Aswaja juga bersikap selektif yang hal ini mengacu pada kaidah fiqih:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

Artinya: “Jika tidak dapat dicapai semuanya, tidak harus ditinggal semuanya.”

BACA JUGA:   Ancaman Bagi Orang Mokel, Azabnya Ngeri!

Hal ini penting ditekankan karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan pokok ajaran Islam, namun didalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan.

Salah satu tradisi yang hampir merata di Indonesia adalah sesajen. Sesajen dilakukan ketika mengadakan selamatan, pernikahan, khitanan, sedekah laut, bumi dan lainnya. Semua itu merupakan ritual permohonan keselamatan pada penguasa suatu wilayah yang dikeramatkan.

Dalam selamatan atau ritual biasanya disediakan sesajen berupa buah-buahan, berbagai macam makanan, kepala kerbau atau sapi dan kemudian dibacakan doa oleh tokoh masyarakat atau mantra-mantra permohonan keselamatan oleh seorang ketua adat.

Tradisi tersebut masih dilestarikan, namun ada berbagai ritual yang dinilai berseberangan dengan norma-norma agama, namun dengan cara bijak telah berhasil diganti dengan acara tahlilan bersama.

Pada kenyataannya, makhluk jin dan setan memang sering kali mengganggu ketenangan manusia sehingga diperlukan untuk menghindarinya, salah satunya dengan menyajikan sesajen.

Apabila sesajen tersebut berupa makanan maka hendaknya dimakan, sebab tidak dibenarkan membuangnya sia-sia. Apabila berupa sembelihan maka dalam penyembelihannya harus diniati taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT agar menghindarkan jin dan setan tersebut.

BACA JUGA:   Kiai Qusyairi: Lakukan 4 Hal Ini untuk Mendapat Kebahagiaan

Dengan demikian, tidak boleh langsung diniati menghindar dari gangguannya, sebab penyembelihan dengan niatan tersebut tidak diperbolehkan (haram). Bahkan, bila sampai diniati persembahan pada jin ataupun mengagungkannya maka akan menyebabkan kekufuran.

ومن ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم او بقصدهم حرم (قوله: فائدة من ذبح) أي شيئا من الابل او البقر او الغنم (وقوله: تقربا لله تعالى) أي بقصد التقرب والعبادة لله تعالى وحده (وقوله: لدفع شر الجن عنه) علة الذبح أي الذبح تقربا لاجل ان الله سبحانه وتعالى يكفي الذابح شر الجن عنه (وقوله: لم يحرم) أي ذبحه وصارت ذبيحته مذكاة لان ذبحه لله لا لغيره (وقوله: او بقصدهم حرم) أي ذبح بقصد الجن لا تقربا الى الله حرم ذبحه وصارت ذبيحته ميتة بل ان قصد التقرب والعبادة للجن كفر كما مر فيما يذبح عند لقاء السلطان او زياة نحو ولي.

Artinya: “Barang siapa yang memotong atau menyembelih (hewan seperti unta, sapi, atau kambing) karena taqarrub kepada Allah Ta’ala (yang diniatkan taqarrub dan ibadah kepada-Nya semata) dengan maksud menolak gangguan jin (sebagai dasar tindakan pemotongan hewan, taqarrub dengan yakin bahwa Allah SWT dapat melindungi pemotongnya dari gangguan jin), maka daging hewan sembelihannya halal dimakan (hewan sembelihannya menjadi hewan qurban karena ditujukan kepada Allah, bukan selain-Nya), dilarang apabila dengan maksud untuk (jin-jin itu, bukan Allah yang ditaqarrubkan maka daging sembelihannya haram karena tergolong daging bangkai, bahkan jika bermaksud taqarrub dan mengabdi pada jin maka tindakannya terbilang kufur persis seperti yang sudah dibahas perihal penyembelihan hewan ketika berjumpa dengan penguasa atau berziarah menuju makam wali.” [I’anah at-Thalibin juz II hal. 349]

BACA JUGA:   Kiai Kholil As'ad: Orang Cerdas adalah Orang yang Bertujuan Bahagia Dunia Akhirat

اما وضع الطعام او الازهار فى الطرق او المزراع او البيوت لروح الميت او لغيره فى الايام المعتادة كيوم العيد او الجمعة او غيرها كل ذلك من الامور المحرمة ومن عادة الجاهلية ومن عمل اهل الشرك.

Artinya: “Adapun meletakkan makanan dan bunga-bunga di jalan-jalan atau di sawah atau di rumah-rumah untuk ruhnya mayit atau lainnya di hari-hari yang ditradisikan seperti hari Raya, hari Jum’at dan lainnya. Semua itu termasuk dari hal-hal yang diharamkan dan tergolong adat jahiliyah dan perbuatan ahli syirik.” [Sirajun Arifin hal. 57]

Wallâhu a’lam bisshawab.