Masih segar dalam ingatan, erupsi Gunung Semeru di akhir 2021 yang memuntahkan 6 juta meter kubik material (data PVMPG) meluluhlantakkan kawasan di sekitar lereng gunung Semeru. 7.106 jiwa mengungsi, 353,5 hektar sawah dan 85.8 hektar tegalan terdampak, 25 fasilitas pendidikan dan 19 tempat ibadah rusak, sekitar dua kilo meter jalan rusak, serta dua jembatan rusak berat (data BPBD Lumajang).
Belum usai penanganannya, pada awal Juli 2023 kita kembali dikejutkan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di enam kecamatan di Kabupaten Lumajang yang disebabkan curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi selama beberapa hari.
Banjir dan tanah longsor ini menghancurkan banyak infrastruktur, seperti jembatan dan bangunan yang roboh, serta mengakibatkan ribuan jiwa mengungsi. Tercatat 1.437 jiwa mengungsi di sembilan titik pengungsian dan tiga diantaranya meninggal dunia (data BPBD Lumajang, 11 Juli 2023), belasan jembatan rusak berat bahkan tiga diantaranya putus, 20 rumah terendam material banjir dan longsor serta beberapa fasilitas umum lain juga terdampak banjir dan tanah longsor ini.
Melihat hal ini, maka sudah sepantasnya bencana harus diposisikan sebagai isu yang sangat strategis. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah dari pusat hingga daerah. Pihak lain di luar pemerintahpun harus menjadikan bencana sebagai prioritas gerak sebagai wujud nalar kritis membangun peradaban bersama-sama.
Tak bisa lagi sekedar donasi bersifat karitatif (charity). Karena jika hanya demikian, maka setiap upaya yang dilakukan sebelum bencana seakan tidak berguna karena harus melakukan “pengaturan awal” memperbaiki pekerjaan yang telah dibangun sebelumnya. Apalagi, jika melihat rilis Geoportal Bencana Indonesia (GBI) yang menyebutkan, dari tahun 2019 saja sudah terdapat sekitar 16 ribu bencana alam yang terjadi di Indonesia. Bahkan, secara umum bencana yang terjadi sangat fluktuatif yang berarti naik-turun (tidak dapat diduga).
Cinta Lingkungan dan Warisan Para Muassis
James J Fox dari Universitas National University (ANU) pernah menyebut Hadratus Syaikh sebagai lokomotif yang mendorong Nahdlatul Ulama (NU) menjadi komunitas moral. Sebagai komunitas moral, ia akan terikat dengan hubungan partisipatif dari generasi ke generasi bahkan hingga kini. Sebab itulah, terdapat ikatan persaudaraan yang kuat antar satu dengan yang lain termasuk dalam hal mencintai dan melestarikan lingkungan.
Sikap warga NU terhadap lingkungan juga terinspirasi dalam uswah hasanah yang Kiai Hasyim tunjukkan dengan bercocok tanam. Keteladanan bersifat moril ini menjadi tanggung jawab generasi NU terhadap kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Secara moralitas, selain pesan menjaga agama, terdapat juga pesan menjaga alam semesta sebagai manifestasi dari mencintai tanah air. Bahkan secara spesifik NU menempatkan lingkungan beserta dengan alam semesta ini sebagai bagian dari menjaga syari’at, karena di bagian hilirnya akan berdampak kepada kemashlahatan ummat. Bahkan secara spesifik KH. Sahal Mahfudz dan KH Ali Yafie mengaitkan prinsip menjaga dan melestarikan lingkungan dalam perspektif fiqh.
Dari sudut pandang keputusan jam’iyyah, komitmen menjaga dan melestarikan lingkungan muncul dalam salah satu keputusan Muktamar ke-29 di Cipasung tahun 1994. Di sana dijelaskan bahwa hukum mencemarkan lingkungan adalah kemudharatan, dan apabila menimbulkan kemudharatan maka hukumnya haram dann termasuk perbuatan criminal bagi pelaku perusakannya. Isu lingkungan juga menjadi bahasan dalam Munas Alim Ulama Konbes 2017. Terkini, secara spesifik NU melalui lembaganya menerbitkan beberapa karya tulis yang berisi khidmat NU dalam bidang ekologi, energi, lingkungan dan sebagainya.
Menyatukan Potensi Menjaga Kerentanan Sistemik
Belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi, mengolah dari data yang dirilis, bencana merupakan kerentanan sistemik (systemic vulnerability) di Indonesia. Khusus di Kabupaten Lumajang dapat diambil kesimpulan seperti ini, sampai kapanpun, gunung Semeru akan selalu menjadi ancaman bagi warga dan masyarakat sekitarnya. Karena itu, sudah selayaknya menjadi pelajaran bagi kita semua terutama bagi Nahdlatul Ulama untuk, pertama, menanamkan kesadaran kritis untuk selalu komitmen menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai bagian dari ibadah (baca: menjaga agama). Komitmen baik dalam aras kepemimpinan maupun dalam bentuk dan tindakan kongkrit.
Kedua, merapikan dan menghimpun tata kelola kebijakan yang kebencanaan dengan melibatkan seluruh komponen struktur dan kultur. NU secara struktur dari tingkat cabang hingga ranting dan anak ranting, maupun majelis taklim sebagai basis kulturalnya, wajib memiliki pemahaman dan kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana. Investasi kesadaran kritis ini penting apalagi berbasis komunitas (community engagement).
Ketiga, “membagi habis” tugas berbasis lembaga dan badan otonom. LPBI sebagai lembaga penanggulangan bencana dan perubahan iklim menyiapkan para ahli dalam bidang bencana dan pelestarian lingkungan. LAZISNU bersinergi dalam bidang pengumpulan dan pendistribusian. LKKNU bertugas memberikan konseling berbasis keluarga. LAKPESDAMNU sebagai pusat capacity building. LTNNU sebagai wadah dokumentasi dan publikasi (penerbitan). BAGANA, BASADA, BALAKAR dan unsur lain di Banser sebagai personel professional di bidang layanan berbasis keummatan. LKNU sebagai lembaga yang membidangi kesehatan. LPPNU, LPNU serta lembaga lain yang dapat disinergikan dengan tujuan penanggulangan pasca bencana dan pelestarian lingkungan.
Keempat, menginisiasi program pelestarian lingkungan dan atau mitigasi bencana berbasis kultur, seperti pesantren hijau, madrasah tanggap bencana, santri hudasa, dan program yang lain yang dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan lingkungan dan mitigasi bencana.
Ditulis oleh: Dr. Ahmad Ihwanul Muttaqin, M.Pd, Sekretaris PCNU Lumajang