Bagaimana Hukum Bersalaman dengan yang Bukan Mahram?

oleh -dibaca 2287 orang

Lebaran Idul Fitri di Indonesia selalu diiringi dengan silaturahmi antar famili dan lainnya. Dalam bersilahturahmi, biasanya antara satu dengan lainnya saling berjabat tangan atau mushafahah (salaman) dengan mahramnya maupun yang bukan mahramnya (ajnabiyah).

Nah, mumpung masih dalam suasana lebaran, alangkah indahnya jika kita sama-sama mengetahui hukum bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya.

Ulama fikih berbeda pendapat terkait hal ini, ada yang memperbolehkan dengan syarat tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah serta si perempuan tidak tergolong yang disyahwati.

Mayoritas ulama kecuali Madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan atau salaman dengan perempuan tua yang bukan mahram sebagaimana keterangan Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuh berikut ini:

وتحرم مصافحة المرأة، لقوله صلى الله عليه وسلم: «إني لا أصافح النساء». لكن الجمهور غير الشافعية أجازوا مصافحة العجوز التي لا تشتهى، ومس يدها، لانعدام خوف الفتنة، قال الحنابلة: كره أحمد مصافحة النساء، وشدد أيضاً حتى لمحرم، وجوزه لوالد، وأخذ يد عجوز شوهاء

Artinya: “Jabat tangan dengan perempuan haram berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan,’ (HR al-Muwaththa’, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Tetapi mayoritas ulama selain madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan dan sentuh tangan perempuan tua yang tidak bersyahwat karena tidak khawatir fitnah. Hanya saja Madzhab Hanbali memakruhkan jabat tangan dengan perempuan dan melarang keras termasuk dengan mahram. Tetapi Madzhab Hambali membolehkan jabat tangan bagi seorang bapak dengan anaknya dan membolehkan jabat tangan perempuan tua (maaf; buruk rupa).”

BACA JUGA:   Jumat Berkah, Inilah 9 Amalan yang Dianjurkan

Sedangkan Madzhab Syafi’i mengharamkan jabat tangan dan memandang perempuan, sekalipun hanya perempuan tua. Hanya saja Madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan dihalangi semisal sarung tangan sebagaimana keterangan berikut ini:

وحرم الشافعية المس والنظر للمرأة مطلقا، ولو كانت المرأة عجوزا. وتجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر

Artinya: “Madzhab Syafi’i mengharamkan bersentuhan dan memandang perempuan secara mutlak, meskipun hanya perempuan tua. Tetapi boleh jabat tangan dengan alas (sejenis sarung tangan atau kain) yang mencegah sentuhan langsung.”

Lalu bagaimana hukum jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan muda yang bukan mahramnya?

Ulama dari empat madzhab dan juga Ibnu Taimiyah mengharamkan praktik tersebut. Tetapi ulama dari Madzhab Hanafi memberikan catatan bahwa keharaman itu berlaku sejauh perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat sebagaimana keterangan berikut ini:

وَأَمَّا الْمُصَافَحَةُ الَّتِيْ تَقَعُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ مِنْ غَيْرِ الْمَحَارِمِ فَقَدْ اِخْتَلَفَ قَوْلُ الْفُقَهَاءِ فِي حُكْمِهَا وَفَرَّقُوْا بَيْنَ مُصَافَحَةِ الْعَجَائِزِ وَمُصَافَحَةِ غَيْرِهِمْ : فَمُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ الْعَجُوْزِ الَّتِيْ لَا تَشْتَهِيْ وَلَا تُشْتَهَى، وَكَذَلِكَ مُصَافَحَةُ الْمَرْأَةِ لِلرَّجُلِ الْعَجُوْزِ الَّذِيْ لَا تَشْتَهِيْ وَلَا تُشْتَهَى وَمُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْعَجُوْزِ لِلْمَرْأَةِ الْعَجُوْزِ جَائِزٌ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ مَا دَامَتْ الشَّهْوَةُ مَأْمُوْنَةً مِنْ كِلَا الطَّرَفَيْنِ،…إلَى أَنْ قَالَ…وَأَمَّا مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ فَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الرِّوَايَةِ الْمُخْتَارَةِ، وَابْنُ تَيْمِيَّةُ إِلَى تَحْرِيْمِهَا، وَقَيَّدَ الْحَنَفِيَّةُ التَّحْرِيْمَ بِأَنْ تَكُوْنَ الشَّابَّةُ مُشْتَهَاةً، وَقَالَ الْحَنَابِلَةُ : وَسَوَاءٌ أَكَانَتْ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ كَثَوْبٍ وَنَحْوِهِ أَمْ لَا

BACA JUGA:   Hukum Kemasukan Air Saat Mandi pada Bulan Puasa

Artinya: “Hukum bersalaman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram terjadi perbedaan pendapat antara ulama ahli fiqih, mereka membedakan antara bersalaman dengan orang tua dan orang muda. Salaman laki-laki dengan wanita yang sudah tua yang tidak mengandung syahwat dan si wanita tidak disyahwati atau sebaliknya, hukumnya boleh menurut Ulama Mahdzhab Hanafi dan Mahdzhab Hambali dengan syarat aman dari syahwat. Adapun salaman antara pemuda dan pemudi yang bukan mahromnya maka Ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan Ibnu Taimiyah sepakat mengharamkannya, bahkan Ulama Hanafi menguatkan keharaman tersebut jika pemudi itu di syahwati. Dan Ulama Hambali tetap menyatakan haram baik salaman tersebut menggunakan pembungkus tangan seperti kain atau tidak,” (Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 37, halaman 359).

Perbedaan pandangan ulama perihal ini juga diangkat oleh Syekh Ali Jum’ah dilansir dari laman Darul Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) nomor 2287 yang diunggah pada 13 Januari 2011 berikut ini:

مصافحة الرجل للمرأة الأجنبية محل خلاف في الفقه الإسلامي؛ فيرى جمهور العلماء حرمة ذلك، إلا أن الحنفية والحنابلة أجازوا مصافحة العجوز التي لا تُشتَهَى؛ لأمن الفتنة… بينما يرى جماعة من العلماء جواز ذلك؛ لما ثبت أن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه صافح النساء لمَّا امتنع النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن مصافحتهن عند مبايعتهن له، فيكون الامتناع عن المصافحة من خصائص النبي صلى الله عليه وآله وسلم

BACA JUGA:   Kadar Boleh dan Tidaknya Berpuasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Artinya: “Jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya menjadi arena perbedaan pendapat ulama dalam kajian fiqih Islam. Mayoritas ulama memandang haram praktik itu kecuali Madzhab Hanafi dan Hanbali yang membolehkan praktik itu terhadap perempuan tua yang tidak lagi membangkitkan syahwat karena aman dari fitnah… Ketika sebagian ulama membolehkan praktik itu berdasarkan riwayat bahwa Sayyidina Umar RA berjabat tangan dengan perempuan di mana Rasulullah SAW menahan diri dari praktik tersebut, maka penahanan diri Rasulullah dari praktik itu dipahami sebagai bagian dari kekhususan Nabi Muhammad SAW.”

Ulama yang membolehkan praktik ini bersandar pada riwayat yang menceritakan praktik jabat tangan dengan perempuan bukan mahram oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar RA. Mereka menyimpulkan bahwa penahanan diri Rasulullah SAW dari praktik tersebut bersifat khususiyah atau pengecualian yang khusus untuk dirinya sendiri. Sementara ulama yang mengharamkan mendasarkan pandangannya pada keumuman hadits.

Wallâhu a’lam bisshawab