Asal-usul Bubur Suro, Tradisi Masyarakat yang Melekat

oleh -dibaca 07 orang
Ilustrasi Bubur Suro

Pada bulan Muharram terutama pada hari Asyura (10 Muharram) umat Islam di beberapa daerah biasanya berlomba-lomba melaksanakan ibadah sunnah seperti sedekah. Sedekah ini oleh sebagian masyarakat ditradisikan dengan membuat bubur suro, dan nantinya akan dibagi-bagikan ke masjid maupun warga sekitar.

Bubur suro merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT. Bubur suro bermakna rasa syukur akan panjangnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali dengan harapan kehidupan tambah makmur.

Disamping itu, bubur suro merupakan lambang kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang, meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan.

Bubur suro diambil dari kata عاشوراء (‘Asyura’). Tradisi membuat bubur suro ini bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya. Dalam kitab I’anah at-Thalibin karya Abu Bakr Syata ad-Dimyati juz 2/267 disebutkan:

BACA JUGA:   Sejarah Kyai Adnan Syarif Ciptakan Sholawat Uhudiyah saat Hari Tasyrik

قوله : وأخرج نوحا من السفينة وذلك أن نوحا عليه السلام لما نزل من السفينة هو ومن معه : شكوا الجوع، وقد فرغت أزوادهم فأمرهم أن يأتوا بفضل أزوادهم، فجاء هذا بكف حنطة، وهذا بكف عدس، وهذا بكف فول، وهذا بكف حمص الى أن بلغت سبع حبوب وكان يوم عاشوراء فسمى نوح عليها وطبخها لهم، فأكلوا جميعا وشبعوا، ببركات نوح عليه السلام

Artinya: “Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya, ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful, ada yang membawa biji kacang putih, sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.”

BACA JUGA:   Masjid Baiturrahman: Tempat Ibadah Bergaya Jawa Kuno, Gambarkan Pola Dakwah Wali Songo

Keterangan juga terdapat dalam kitab Badai’i az-Zuhur fi Waqai’i ad-Duhur karya Syekh Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafi, halaman 64 disebutkan:

قال الثعلبي كان استواء السفينة على جبل الجودي يوم عاشوراء وهو العاشر من المحرم فصامه نوح شكرا لله تعالى وامر من كان معه بالصيام في ذلك اليوم شكرا على تلك النعمة. ويروي ان الطيور والوحوش والدواب جميعهم صاموا ذلك اليوم ثم ان نوح اخرج ما بقي معه من الزاد فجمع سبعة اصناف من الحبوب وهي البسلة والعدس والفول والحمص والقمح والشعير والارز فخلط بعضها في بعض وطبخها في ذلك اليوم فصارت الحبوب من ذلك اليوم سنة نوح عليه السلام وهي مستحبة

BACA JUGA:   Musim Haji, Momen Tepat Kenang Kiprah Mbah Wahab

Artinya: “Imam Tsa’laby berkata, perahu Nabi Nuh mendarat sempurna di sebuah gunung tepat pada tanggal 10 Muharram atau hari Asyura, maka Nabi Nuh melakukan puasa pada hari itu dan memerintahkan kepada kaumnya yang ikut dalam perahunya untuk melakukan puasa pada hari Asyura sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Dan dikisahkan bahwa seluruh binatang dan hewan yang ikut dalam perahu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa. Kemudian Nabi Nuh mengeluarkan sisa perbekalan selama terapung dalam kapal, memang tidak banyak sisa yang didapat, kemudian Nabi Nuh mengumpulkan sisa biji-bijian itu, ada tujuh macam jenis biji-bijian dan jumlahnya tidak banyak, kemudian disatukan dan dijadikan makanan. Selanjutnya biji-bijian yang dimakan pada hari itu, yakni 10 Muharram, menjadi kebiasaan Nabi Nuh dan disukai.”