Bulan Shafar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah bulan Muharram. Dalam menyambut bulan Shafar, masyarakat khususnya di Jawa dan Madura biasanya mempunyai tradisi membuat dan membagikan Tajin Sappar kepada famili dan tetangga. Kebiasaan itu masih lestari hingga saat ini.
Tajin atau jenang dimaksud berwarna merah atau coklat muda dan warna putih di tengah dengan bertabur bubur padat seukuran kelereng. Bubur terbuat dari tepung, air gula merah dan santan. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan tradisi ini. Menurut beberapa catatan, penggagas pertama kudapan khas tersebut adalah Sunan Kalijaga.
Tajin Sappar bermanfaat meningkatkan nilai sosial di dalamnya, yaitu menyambung silaturrahim karena tidak semata dinikmati secara pribadi, tapi juga dibagikan kepada tetangga dan keluarga dekat. Seperti diketahui, tradisi silaturrahmi sangatlah penting, apalagi dengan ater-ater (mengantar) makanan.
Selanjutnya, makna dari tradisi Tajin Sappar juga memupuk umat Islam untuk bersedekah, saling berbagi dari rejeki yang lebih. Selain itu mengajarkan kesederhanaan dalam bersedekah, tidak harus dengan uang dalam jumlah besar. Cukup dengan biaya murah seperti Tajin Sappar pun bisa bersedekah kepada orang lain.
Sejarah Tajin Sappar berawal dari kisah Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW yang dibunuh oleh Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala saat dalam perjalanan ke Irak.
Makna dari Tajin Sappar adalah warna merah melambangkan darah yang mengalir dari dalam tubuh Sayyidina Hasan dan warna putih sebagai simbol tulang belulang yang hancur lebur.
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa sejarah Tajin Sappar adalah Fir’aun dan bala tentaranya tenggelam di Laut Merah saat mengejar Nabi Musa AS dan para pengikutnya yang menyeberangi lautan dengan selamat atas izin Allah SWT.
Terlepas dari versi manapun Tajin Sappar tetap mempunyai nilai agung, yaitu mempererat tali silaturrahim dengan bersedekah atau berbagi kasih antar setiap makhluk.