Halal bi Halal merupakan tradisi yang kental di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di sepanjang tanah Jawa.
Dalam terminologi Jawa, Halal Bi Halal berarti kunjungan dan salam untuk saling memaafkan. Dalam pandangan lain, halal bi halal berarti memohon maaf lahir dan batin, atau mendamaikan hati agar jiwa kembali rukun.
Meski berkembang diabad ke-20, namun sejatinya praktek halal bi halal atau saling memaafkan ini telah dipraktekkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sebagaimana ditulis dalam NU Online Edisi Jumat, 28 April 2023, Tradisi halal bi halal sebenarnya sudah dipraktikkan sejak abad ke-15 pada masa Walisongo melakukan dakwah Islam di Tanah Jawa. Saat itu Walisongo memanfaatkan ritual Dharma Sunya bagi pemeluk Kapitayan, yakni setahun sekali mereka memiliki tradisi saling menghilangkan kesalahan.
Kemudian pada abad ke-18 Halal bi Halal juga dilakukan pada masa Praja Mangkunegara Surakarta yang diambil dari tradisi “Pisowanan”.
Istilah Halal bi Halal juga dipopulerkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah yang memberikan saran kepada Presiden Sukarno untuk membentuk acara silaturahim antar pemimpin politik pada tahun 1948.
Jika merujuk pada substansi saling memaafkan, Ulama Nusantara merujuk pada sejumlah ayat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Salah satunya terdapat pada ayat Al-Hujarat Ayat 10, yaitu ;
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Artinya : “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh Umat Islam Indonesia setelah pelaksanaan Sholat Idul Fitri atau tepat pada awal Bulan Syawal. Sebagai momentum membersihkan diri dari segala salah dan dosa antara sesama manusia.
“Lazimnya memang dilakukan setelah bulan Ramadan, yakni di awal bulan Syawal dalam kalender Hijriyah,” ungkap Wakil Rois Syuriah PCNU Lumajang, KH Ahmad Syaicho saat dikonfirmasi nu-lumajang.or.id pada Kamis (10/04/2025).
Menurutnya, meski tradisi Halal bi Halal identik dengan hari raya Idul Fitri. Namun sejatinya tidak terbatas waktu, karena anjuran saling memaafkan dalam Islam disebutkan di beberapa ayat dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Salah satunya dalam QS Ali Imron Ayat 134, yakni:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Selain dalam ayat suci Al-Qur’an, pentingnya meminta maaf atau saling memaafkan juga dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih Al-Bukhari nomor 2449, yakni;
مَن كَانَتْ له مَظْلِمَةٌ لأخِيهِ مِن عِرْضِهِ أَوْ شيءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ منه اليَومَ
Artinya : “Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya di dunia (sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham)”.
Merujuk pada ayat dan hadits diatas, anjuran saling memaafkan seharunya tidak hanya dilakukan di hari pertama atau 7 hari setelah pelaksaan hari raya idul fitri yang dikenal dengan Hari Raya Ketupat.
“Tidak bijak, jika kita mencoba memperdebatkan soal batasan atau waktu untuk melaksanakan Halal bi Halal, karena dalam perkembangannya waktu tidak akan pernah menjadi perisai kita untuk saling memaafkan antara sesama manusia,” tambah Pria yang juga Penyuluh Agama Islam di lingkungan Kantor Kementerian Agama Lumajang ini.
Sebab, ulama terdahulu menjadikan bulan syawal sebagai hari atau waktu melaksanakan halal bi halal karena bulan sebelumnya, yakni selama bulan suci Ramadan, Umat Islam tengah melakukan Ibadah Puasa yang khusus sebagai bulan Introspeksi dan bulan pertaubatan untuk memohon ampunan kepada Allah SWT.
والله أعلم بالصواب