Bulan Muharram tahun 1446 Hijriah telah tiba, yaitu salah satu dari empat bulan yang mulia. Bulan Muharram adalah bulan pertama dari penanggalan atau kalender Hijriah yang biasa disebut Tahun Baru Islam.
Tahun Hijriah terdapat sejarah dalam penetapannya, Imam Fakhruddin ar-Razi menyebutkan dalam kitab tafsirnya bahwa manusia telah lama mengenal hari dan bulan dalam satu tahun. Bagi bangsa Arab sendiri, dalam satu tahun mereka menghitung sesuai dengan perputaran bulan sejak zaman Nabi Ibrahim. Sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ
Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…” (QS Yunus : 5).
Bangsa Persia dan Romawi menghitung satu tahun dengan perputaran matahari, sedangkan umat Islam menghitungnya dengan perputaran bulan. Itulah sebabnya, mengapa terdapat istilah “Qamariyah” (mengikuti bulan) dan “Syamsiyah” (mengikuti matahari).
Bahkan, dari jumlah harinya pun hitungan kedua tahun ini berselisih 11 hari. Sebab pada tahun Syamsiyah terdapat 30/31 hari pada setiap bulannya (kecuali Februari, 28 hari dan 29 hari di tahun kabisat), sehingga pada setiap tahunnya berjumlah 365 hari (366 hari untuk kabisat) . Sedangkan tahun Qamariyah terdapat 29/30 hari pada setiap bulannya, sehingga pada setiap tahunnya berjumlah 354 hari.
Umat Muslim sendiri mengunakan tahun Hijriah (Qamariyah) dan menetapkan 12 bulan pada setiap tahunnya sebagaimana firman Allah SWT:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan…” (QS At-Taubah : 36).
Adapun nama Hijriah sendiri diambil dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah. Sebab dengan hijrah ini, dipisahkannya antara yang benar dan yang batil.
Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Muntadham fi Tarikh al-Muluk wal Umam menceritakan pada saat kekhalifahan Umar bin Khattab RA dan kepengurusan negara telah tertata rapi, Sayyidina Umar pernah menerima dokumen yang bertuliskan Sya’ban.
Dari hal itu, Sayyidina Umar berkata, “Yang dimaksud di sini, Sya‘ban yang mana? Yang lalu, akan datang, atau sekarang?” Kemudian Sayyidina Umar mengumpulkan para sahabat dan berkata kepada mereka, “Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan sebagai acuan!”
Kemudian, ada sahabat yang mengusulkan agar menggunakan acuan penanggalan kalender bangsa Romawi. Namun, usulan ini dibantah karena penanggalan kalender Romawi sudah terlalu tua dan perhitungannya sudah dibuat sejak zaman Dzulqarnain (zaman sebelum Masehi). Ada yang mengusulkan lagi agar menggunakan acuan penanggalan kalender bangsa Persia. Namun, usulan ini juga dibantah karena setiap kali rajanya naik tahta, raja tersebut akan meninggalkan sejarah sebelumnya.
Akhirnya mereka sepakat dengan melihat berapa lama Rasulullah SAW hidup bersama mereka di Madinah. Mereka mendapati bahwa beliau telah berada di kota Madinah selama 10 tahun. Maka dicatatlah penanggalan kalender Islam berdasarkan awal hijrah Rasulullah SAW, yang berarti bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun ke-16 setelah hijrah.
Setelah itu, Sayyidina Umar dan para sahabat-sahabatnya menetapkan awal bulan Hijriah adalah bulan Muharram bukan Rabi’ul Awal. Hal itu semata-mata memandang memandang bahwa bulan Muharam adalah bulan yang mula-mula Nabi berniat untuk berhijrah.
Selain itu di bulan Muharram ini pulalah para jamaah haji baru selesai mengerjakan ibadah haji dan pulang ke negerinya masing-masing. Dengan adanya keputusan yang demikian itu, seolah-olah hijrahnya Nabi Muhammad SAW jatuh pada bulan Muharram dan dipandang patut sebagai permulaan tahun di dalam Islam.