Setiap menghadapi musim ‘Pil’, Pilpres, Pilbub, Pilkada, dan Pil Pil lainnya, suasana dunia nyata dan dunia maya selalu ramai dengan perbincangan hangat tentang banyak hal terutama tentang calon-calon yang dimunculkan. Bahkan hal ini tak jarang menyebabkan gesekan, panas-panasan, saling sindir bahkan saling hina sana-sini oleh para pendukung calon yang di usung.
Dan setiap musim Pil ini pula, organisasi terbesar di Indonesia bahkan di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang ingin mendulang suara sebesar-besarnya meskipun organisasi ini bukanlah organisasi politik dan bukan pula organisasi milik partai politik.
Sebenarnya secara historis, sejak zaman sebelum kemerdekaan, pra kemerdekaan, orde lama, orde baru dan saat era demokrasi peran NU dalam dunia perpolitikan sangatlah diperhitungkan, dan jika ditelisik kembali banyak Kiai-kiai NU saat itu menduduki jabatan politik di pemerintahan dan terjun langsung di dunia politik praktis.
Dikutip dari NU Online, dalam menghadapi situasi politik kebangsaan yang tidak menentu saat itu, KH Abdul Wahab Chasbullah kerap mengambil jalan tengah untuk kemaslahatan secara luas. Hal ini disebut politik jalan Kiai Wahab ketika para ulama tidak sepakat untuk melibatkan diri dalam pemerintahan disebabkan pandangan pemerintah tidak sesuai dengan jalan pikiran para ulama.
Kiai Wahab selalu bisa meyakinkan para ulama agar tetap membuka diri dalam berkontribusi di pemerintahan. Sederhananya, Kiai Wahab berpandangan justru jika para ulama di luar pagar pemerintahan, mudharat yang ditimbulkan malah akan semakin lebih besar.
Hingga saat ini, banyak tokoh dan kader NU yang secara organisasi mereka tidak membawa nama NU untuk berpolitik, karena memang tidak diperbolehkan, namun jati diri mereka sebagai kader NU tetap mereka pegang dan menjadi acuan mereka dalam berjuang di politik dengan politik kebangsaannya.
Namun demikian, langkah tokoh dan kader NU yang kebetulan berjuang di politik menjadikan mereka sebagai target sasaran musuh politik mereka dengan isu-isu yang menghubungkan NU dengan politik itu sendiri. Seperti halnya, mereka dituduh menunggangi NU sebagai batu pijakan demi memuluskan ambisinya, dianggap memanfaatkan Nahdliyin dan lain sebagainya.
Sebenarnya tuduhan yang disematkan kepada para kader NU yang kebetulan berjuang di politik ini, bisa dilihat benar dan tidaknya dari sepak terjang mereka dengan program politik mereka itu sendiri, Apakah ketika ambisi mereka terkabulkan apa yang mereka lakukan kepada masyarakat terutama Nahdliyin? kebijakan apa yang mereka cetuskan? apakah bermanfaat atau malah mudlarat? Mudah saja kok.
Ketika ada kader NU yang kebetulan berjuang di politik dan dia berhasil menduduki posisi penting di suatu daerah, sedangkan program kerja dan realisasi program tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat, semisal biaya melahirkan gratis, tunjangan guru ngaji, seragam madrasah gratis, tunjangan guru madrasah, bantuan TPQ, Bantuan untuk Madin, bantuan ke organisasi-organisasi kemasyarakatan terutama kepada NU itu sendiri, pelestarian lingkungan, dan lain sebagainya? Apakah kita masih menduduhnya menunggangi NU, memanfaatkan NU atau mencari hidup lewat NU.
Sedangkan pengabdiannya kepada NU jika di bandingkan dengan orang yang nyinyir, pasti jauh diatasnya bahkan tidak ada apa-apanya dengan oknum yang hanya bisa nyinyir.
Ini yang perlu menjadi koreksi bagi kita sebagai warga Nahdliyin atau kader NU agar tidak mudah terprovokasi dan kompak untuk mendukung jika ada kader terbaik NU yang memilih berjuang di politik dan meskipun dia berada di struktural NU.
Logika sederhananya, jika ada kader terbaik dari kalangan kita sendiri apalagi sudah terbukti, ngapain memilih kader lain yang belum tentu saat dia dapat memenuhi ambisinya sebagai pemimpin dapat memberi manfaat kepada masyarakat luas dan bermanfaat untuk warga Nahdliyyin khususnya.
Dikirim oleh: Syahwel