Tajhizul Mayyit (Persiapan dan Perawatan Mayyit)
Manusia merupakan makhluk paling mulia dari mahluk-mahluk lain, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ
Artinya: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS Al-Isra’ : 70).
Maka dari kemuliaan yang dianugerahkan Allah tersebut, manusia tentunya tetap wajib dimuliakan sekalipun telah meninggal dunia. Rasulullah bersabda kepada Aisyah: “Jika kamu wafat maka akan saya mandikan, kafani, shalatkan, dan kuburkan.”
Oleh karenanya, dalam hal ini para ulama sepakat bahwa ada 4 (empat) hal yang wajib hukumnya dikerjakan oleh umat Islam terhadap orang yang meninggal dan kewajiban ini dikenal dengan fardhu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang bisa gugur sebab sudah dilaksanakan oleh orang lain. Empat hal tersebut yaitu: 1.) Memandikan, 2.) Mengkafani, 3.) Menshalati dan 4.) Menguburkan.
1. Memandikan
Kewajiban pertama dalam hal merawat jenazah atau mayat adalah memandikannya. Namun yang perlu diperhatikan dalam memandikan mayat ini adalah satu jenisnya antara mayat dengan orang yang memandikan. Maka diharamkan memandikan mayat yang beda jenis kelamin kecuali ada hubungan mahram atau hubungan suami-istri.
Oleh karenanya, semisal di suatu tempat hanya ada laki-laki sementara yang meninggal adalah perempuan, atau sebaliknya, maka mayat tidak boleh dimandikan. Karena dalam proses memandikan dipastikan adanya pandangan dan sentuhan terhadap lawan jenis yang diharamkan syara’. Maka dalam kasus seperti ini mayat harus ditayammumi dan tidak perlu dimandikan.
Proses memandikan mayat harus diakukan di tempat sepi dan yang diperbolehkan masuk hanya orang yang memandikan beserta yang membantunya. Saat dimandikan, aurat mayat harus selalu dalam keadaan tertutup dengan menggunakan kain.
Pada waktu yang sama, membersihkan najis yang terdapat pada tubuh mayyit, mula-mula dengan mengangkat bagian atas mayat (punggung) dengan posisi setengah duduk (condong ke belakang). Hal ini bisa dilakukan dengan cara punggung mayat disandarkan pada lutut kanan orang yang memandikan sementara tangan kanan menahan pundak dan kepala mayat dibantu ibu jari.
Kemudian tangan kiri orang yang memandikan memijat/mengurut perut mayat agar sisa kotorannya keluar, dan segera dibersihkan qubul dan duburnya dengan menggunakan tangan kiri yang dibalut dengan kain (diceboki).
Kemudian tidurkan kembali mayat dengan posisi terlentang untuk membersihkan daerah qubul (kemaluan) dan dubur (anus) dengan tangan kiri yang dibugkus kain/sarung tangan sampai hilang najisnya.
Selanjutnya, lepaskan sarung tangan dan bersihkan kedua tangan dimulai dari jari-jari mayat sebelah kanan, dilanjutkan menggosok/membersihkan gigi dan hidung mayat dengan jari yang dibungkus kain. Setelah semua najis dan kotoran mayat bersih, mayat sunnah di wudlu’i sebagaimana wudhu’nya orang hidup.
Mayyit dimandikan mulai dari rambut kepala disertai shampoo/sabun, lalu sisir rambut dengan sisir yang renggang agar tidak rontok. Kemudian seluruh tubuh mayat (bagian depan) disiram dengan air sabun dimulai dari bagian kanan atas hingga kaki, lalu miringkan tubuh mayat ke arah kiri untuk menggosok/membersihkan bagian kanan belakang dengan penyiraman pada tubuh bagian kanan dari atas (leher) hingga kaki.
Kemudian miringkan ke arah kanan untuk membersihkan tubuh bagian kiri belakang. Setelah semua bagian tubuh mayyit dibersihkan degan sabun/shampoo, tubuh mayat disiram dengan air bersih (tanpa campuran) dari kepala hingga ujung kaki sebagaimana cara di atas untuk membersihkan sisa air shampoo/sabun yang melekat.
Pada basuhan terakhir, tubuh mayat disiram lagi dengan menggunakan air bersih yang di campur dengan sedikit bubuk kapur barus. Lebih sempurnanya, ulangi cara memandikan di atas hingga tiga kali, kemudian keringkan dengan handuk atau kain.
Setelah semua najis dan kotoran mayat telah bersih, mayat sunnah diwudhu’kan sebagaimana wudhu’nya orang hidup.
Niat memandikan mayyit:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ أَدَاءً عَنْ هٰذَا الْمَيِّتِ / هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Niat mewudhu’kan mayyit:
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ الْمَسْنُوْنَ عَنْ هٰذَا الْمَيِّتِ / هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى
2. Mengkafani
1. Ukuran/jumlah kebutuhan kain kafan
Kain kafan disunnahkan berwarna putih, selain warna putih hukumnya makruh. Banyaknya kain kafan ialah minimal 1 (satu) lembar kain yang dapat menutupi seluruh anggota tubuh mayyit. Namun yang lebih utama ialah 3 (tiga) lembar untuk laki-laki, yang masing-masing lembar tersebut dapat menutupi seluruh tubuh mayyit, dan boleh ditambah dengan qamis dan surban. Adapun kain kafan untuk wanita ialah 5 (lima) lapis terdiri dari 2 (dua) lembar kain ditambah qamis, khimar (kerudung), dan izar (sarung).
2. Penyiapan kain kafan
a. Kain kafan di pasaran ada yang berukuran lebar 92 cm dan 140 cm, untuk mempermudah maka cukup menyesuaikan dengan keadaan tubuh mayyit.
b. Kain kafan yang sudah disediakan, dipotong menjadi 3 lembar dengan ukuran mengikuti tinggi mayat ditambah kira-kira 2 jengkal (± 50 cm) untuk tempat mengikat.
c. Jika kain kurang lebar, maka boleh ditambah dengan cara dijahit. Hal ini dikarenakan tubuh manusia lebih lebar bagian atas. Oleh karenanya, kain tambahan tersebut diperkirakan lurus dengan pundak mayat atau bisa juga disusun dengan cara menyerong (melebar bagian atas).
d. Buatkan Qamis (baju kurung/jubah) sederhana dan sorban. Caranya yaitu:
• Potong kain dengan ukuran 2 x Panjang mayat (dari pundak hingga kaki).
• Buatkan lubang (digunting) di bagian tengah seukuran kepala mayat.
• Boleh juga di bagian depan digunting hingga tembus bawah.
e. Buatkan sorban sederhana dan 3/5/7 tali serta semacam celana dalam dari sisa kain.
f. Setelah semua kain selesai disiapkan, maka susunlah 3 atau 2 lembar kain kafan tersebut di atas tali yang sudah disiapkan, diikuti Qamis, sorban, dan celana dalam mayat yang sebelumnya sudah ditaburi bubuk kapur barus.
g. Kemudian mayat diangkat dan diletakkan di atas hamparan kain kafan dengan posisi terlentang serta kedua tangan bersedekap seperti ketika shalat atau bisa juga diluruskan ke bawah.
h. Anggota tubuh yang berlubang seperti mata, telinga, hidung, dan anggota semua sujud (telapak tangan, kening, lutut, dan jari-jari kaki) sunnah ditempel kapas yang sudah diolesi minyak wangi.
i. Kain kafan di pasang satu persatu dimulai dari celana dalam yang sudah diberi kapur barus serta duburnya diberi kapas untuk menjaga keluarnya kotoran.
j. Selanjutnya kafan diikat dengan tali yang sudah disiapkan dengan jumlah ganjil sewajarnya, misal 3, 4, 5, atau 7 sekiranya tidak lepas ketika diawa ke kuburan.
3. Menshalati
Shalat jenazah berbeda dengan shalat-shalat yang lain; shalat jenazah dilakukan dengan tanpa rukuk, sujud, maupun tasyahhud. Ditinjau dari keberadaan jenazah, maka ada 2 macam jenazah yaitu:
1. hadir (jenazah ada di lokasi shalat), dan
2. ghaib (jenazah jauh di luar lokasi shalat).
Sedangkan berdasarkan pelaksaannya, shalat jenazah juga bisa dibagi 3 macam yaitu:
1. Shalat hadir di depan jenazah,
2. Shalat di atas makamnya, dan
3. Shalat Ghaib.
Pelaksanaan shalat jenazah harus dilakukan dengan berdiri jika mampu, tapi jika tidak mampu maka boleh shalat duduk. Disunnahkan membagi shaff (barisan) shalat menjadi tiga shaff atau lebih sekalipun jamaahnya hanya sedikit. Shalat jenazah dilaksanakan dengan 4 kali takbir dan diakhiri dengan salam.
Niat shalat jenazah laki-laki:
اُصَلِّيْ عَلَى هٰذَا الْمَيِّتِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ (إِمَامًا/مَأْمُوْمًا) لِلّٰهِ تَعَالَى
Niat shalat jenazah perempuan:
اُصَلِّيْ عَلَى هٰذَهِ الْمَيِّتَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ (إِمَامًا/مَأْمُوْمًا) لِلّٰهِ تَعَالَى
Niat shalat jenazah ghaib:
اُصَلِّيْ عَلَى مَيِّتِ (…………..) اَلْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ (إِمَامًا/مَأْمُوْمًا) لِلّٰهِ تَعَالَى
Setelah takbir pertama dilanjutkan membaca Surah Al-Fatihah
Setelah takbir kedua membaca:
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Namun lebih utama membaca shalawat Ibrahimiyah:
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ
Setelah takbir ketiga membaca:
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ (هَا) وَارْحَمْهُ (هَا) وَعَافِهِ (هَا) وَاعْفُ عَنْهُ (هَا)
Setelah takbir keempat membaca:
اَللّٰهُمَّ لَاتَحْرِمْنَا أَجْرَهُ (هَا) وَلَاتَفْتِنَّا بَعْدَهُ (هَا) وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ (هَا) بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Dan kemudian diakhiri dengan salam.
4. Mengubur
Kewajiban terakhir yang termasuk rangkaian fardhu kifayah ialah menguburkan jenazah. Maka, sebelum menuju pemakaman, mayat dibawa oleh beberapa orang sesuai kebutuhan dengan menggunakan keranda dengan posisi kepala di depan.
Disunnahkan mempercepat langkah kaki dari pada sekedar berjalan seperti biasanya, kecuali mayyit mengalami sesuatu yang mengharuskan segera dikubur, maka mempercepat hukumnya wajib. Adapun yang memikul mayyit adalah laki-laki sekalipun yang mati perempuan karena perempuan dimakruhkan memikul mayyit.
Ukuran minimal kuburan ialah satu lubang yang dapat mencegah keluarnya bau dan menjaga dari binatang pemangsa. Sedangkan ukuran sempurna ialah denga luas sekiranya tidak sulit bagi orang yang turun untuk mengubur dengan kedalaman seukuran berdirinya orang dewasa dengan mengangkat tangannya ke atas (kira-kira 4,5 dzira’/±2,5 m).
Setelah sampai di tempat pemakaman, maka selanjutnya yaitu:
1. Keranda diletakkan di arah kaki lubang kuburan, selanjutnya mayyit dimasukkan dengan pelan-pelan dari arah kepala.
2. Ketika memasukkan mayyit, disunnahkan membaca:
بِسْمِ اللّٰهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
3. Mayyit dibaringkan dari sisi lambung kanan dan wajib menghadap kiblat dengan diberi penyanggah dari tanah atau lainnya agar tidak telentang.
4. Ikatan kain kafan dibuka lalu pipinya sunnah ditempelkan ke tanah, kepalanya diganjal (bantal) dari batu bata.
5. Di-adzani dan di-iqomahi (jika mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan).
6. Sebelum ditimbun dengan tanah, tubuh mayyit harus ditutup terlebih dahulu dengan semacam papan dari kayu atau lainnya agar tanah urukan tidak mengenai mayyit.
7. Tanah kuburan ditinggikan kira-kira satu jengkal, dan disunnahkan diberi batu nisan serta ditaburi bunga atau dedaunan yang masih segar atau menyiramkan air.
8. Setelah penguburan selesai, disunnahkan talqin dengan bahasa Arab, sementara posisi orang yang membaca menghadap ke arah mayyit (timur) dalam keadaan duduk sementara para pengiring jenazah dianjurkan berdiri.
9. Para pengiring jenazah disunnahkan tidak langsung pulang dari pekuburan guna mendo’akan mayyit. Kemudian mengambil segenggam tanah dan ditaburkan kembali sebanyak tiga kali dengan membaca:
Taburan pertama membaca:
مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ
Taburan kedua membaca:
وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ
Taburan ketiga membaca:
وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى
10. Dimakruhkan membangun sebuah bangunan di kuburan sekalipun di tanah milik sendiri. Adapun membangun kuburan yang ada di tanah pemakaman umum atau tanah waqaf, hukumnya haram. Mengecualikan kuburan para Nabi, syuhada’, dan orang-orang shaleh karena ada tujuan ziarah dan tabarruk (ngalap berkah) maka diperbolehkan.
Wallâhu a’lam bisshawab
Referensi:
– Fathul Mu’in karya Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani.
– I’anatut Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bakri.
– Hasyiyah al-Bajuri karya Syekh Ibrahim bin Muhammad Qasim al-Bajuri
– Riyadlus Shalihin karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi