Money Politic Guna Perjuangkan Hak, Bolehkah?

oleh -dibaca 567 orang

Semakin dekatnya Pemilu 2024, akhir-akhir ini sudah mulai gencar-gencarnya para tim sukses (timses) melakukan kampanye di beberapa daerah di Indonesia agar masyarakat memilih calon yang diusungnya.

Jika diperhatikan, praktik money politic atau bagi-bagi uang saat Pemilu sudah bukan hal yang tabu lagi.

Tidak menutup kemungkinan pada Pemilu saat ini, para timses caleg (calon legislatif) maupun capres (calon presiden) melakukan hal serupa, terutama mendekati hari pemilihan.

Akan tetapi, sebagian masyarakat sekarang sudah cerdas dalam memilih caleg atau capres, bahkan ketika ada timses yang bukan pilihannya bagi-bagi uang, mereka punya motto “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”.

Menyikapi hal ini, perlu dibahas lebih dalam lagi bagaimana status money politic dalam sudut pandang agama Islam, diperbolehkan atau dilarang? Berikut penjelasannya.

Money politic diambil dari bahasa Inggris yang berarti politik uang. Menurut UU nomer 3 Tahun 1999 tentang pemilihan presiden, politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.

Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.

Money Politic atau politik uang dalam beberapa kajian bahtsul masail termasuk dalam kategori risywah/suap, sehingga hukumnya adalah haram.

Masih ada saja sebagian orang yang belum memahami bahwa money politic termasuk dalam kategori risywah sebab beranggapan bahwa risywah hanya terjadi dalam konteks putusan peradilan atau hukum. Padahal kenyatannya tidak demikian

BACA JUGA:   Nahdlatul Ulama dalam Pangkuan Jagat Bumi

Zakariya bin Muhammad Zakariya Al-Anshari mengutip penjelasan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Asnal Mathalib:

فَصْلٌ (قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ) قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ أَوْ مُبَاحٍ فَإِجَارَةٌ أَوْ جَعَالَةٌ أَوْ تَوَدُّدٍ مُجَرَّدٍ أَوْ تَوَسُّلٍ بِجَاهِهِ إلَى أَغْرَاضِهِ فَهَدِيَّةٌ إنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ أَوْ الْعَمَلِ فَرِشْوَةٌ

Artinya: ” (Pasal) perkataan Mushanif: “Riyswah haram” Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya’nya berkata: “Harta jika diberikan untuk tujuan mendatang (pahala akhirat) maka dinamakan sedekah. Jika diberikan untuk tujuan segera (imbalan dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyartit tsawab. Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya’an maka dinamakan risywah. Jika untuk perkara yang mubah maka dinamakan dengan ijarah atau ja’alah. Jika pemberian harta karena murni tali kasih atau untuk berwasilah dengan derajat pangkatnya agar tercapai tujuan-tujuannya, itu dinamakan hadiah jika kedudukan dan derajatnya itu berupa ilmu atau nasab; namun jika berupa putusan hukum atau satu tindakan maka dinamakan risywah.” (Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Rhaudhit Thalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz IV halaman 200), sebagaimana dilansir NU Online.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu. Dengan demikian money politic termasuk kategori risywah yang hukumnya haram.

BACA JUGA:   Potret Kepemimpinan dan Kepribadian Thoriqul Haq, Portofolio Kader PMII Paripurna

Dalam konteks pemilu secara umum dapat dipahami, yang dianggap risywah adalah segala pemberian yang bertujuan agar pemegang keputusan dalam hal ini adalah masyarakat yang mempuyai hak pilih memihak kepada pihak pemberi atau bakal calon pemimpin agar mengikuti kemauannya atau mendahulukannya dari pihak lain sehingga prosesnya menjadi tidak sesuai dengan aturan yang dibenarkan (bighairal-haqq).

Terkait motif pemberian bisa beragam, diantaranya adalah untuk mengambil hak, dalam arti si pemberi merasa paling berhak untuk menjadi pemimpin daripada kompetitornya, sehingga pembelian suara diklaim sebagai membeli haknya dan tidak dianggap sebagai risywah.

Untuk menjelaskan hal tersebut perlu diketahui bahwa dalam beberapa literatur fiqih klasik disebutkan, risywah sama sekali tidak boleh diterima oleh pihak pemegang keputusan atau dalam hal ini pemilih.

Namun adakalanya pihak pemberi diperkenankan memberikannya bila tujuannya adalah memperjuangkan apa yang memang menjadi haknya, sebagaimana dikutip dari NU Online, dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:

   نعم، إنما يحرم على الراشي إذا تواصل بها إلى أخذ ما ليس له أو ابطال حق عليه أما لو حيل بينه وبين حقه وعلم أنه لا يصل إليه إلا ببذله لقاض سوء فلورز خاص بالمرتشي

Artinya: “Betul, haram bagi penyuap jika risywah atau suap itu untuk mengambil apa yang bukan menjadi haknya atau membatalkan perkara yang hak. Adapun upaya (hailah) supaya ia mendapatkan haknya dan ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan haknya kecuali menyerahkan harta kepada qadhi yang korup, maka dosanya khusus untuk penerima suap saja.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Mustarsidin [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1433 H], halaman 269).

BACA JUGA:   Kualitas Moderasi Beragama di Lumajang

Akan tetapi perlu dicermati bahwa dalam konteks kontestasi pemilihan pemimpin yang terjadi dalam era demokrasi saat ini, syarat kebolehan menyuap ini nyaris tidak mungkin terjadi sebab masing-masing kandidat secara hukum berada di posisi yang sama serta seimbang setelah menurut aturan yang berlaku dinyatakan lolos dan memenuhi syarat untuk mengikuti kontestasi pemilihan calon pemimpin.

Dengan demikian, tidak boleh ada satupun kandidat calon yang memosisikan dirinya sebagai calon terbaik yang memenuhi syarat atau merasa dirinya paling berhak atas jabatan dibandingkan calon lainnya, sehingga menghalalkan praktik money politic atau jual beli suara (hak pilih).

Adapun alasan memberikan risywah sebab memperjuangkan kebenaran, maksudnya adalah memberikan suap agar pemegang keputusan yang korup mau mengeluarkan putusan yang adil dan objektif sesuai aturan yang berlaku.

Jadi, praktek risywah yang justru melanggar aturan yang ada sama sekali tidak bisa diklaim sebagai upaya menegakkan kebenaran, malah bertentangan dengannya. Sebab itu, saat ini secara mutlak diharamkan memberikan risywah untuk mengubah hasil perolehan suara yang seharusnya dilakukan secara adil dan objektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wallahu a’lam bisshawab.