NU-LUMAJANG.OR.ID. Tidak banyak dijumpai organisasi yang mampu bertahan hingga satu abad. Lintasan sejarah bangsa menyebut cukup banyak organisasi yang tak mampu mempertahankan eksistensinya hingga usia 100 tahun, sekalipun memiliki masa lalu yang gemilang serta dihuni ‘borjuis’ intelektual kelas kakap. Sebut saja PSI, PKI, PNI hingga Masyumi yang berakhir dengan bubarnya organisasi tersebut. Sekalipun semua bisa berkelit dengan menjadikan realitas politik sebagai pembenaran dari keadaan tersebut. Namun faktanya, eksistensilah kata kunci dari jawaban sebenarnya.
Bagaimana dengan NU? Jika meminjam istilah Gus Mus, seharusnya organisasi ini sudah bubar. Alasannya sederhana, NU itu “tidak mirip” organisasi. Kalau rapat jarang kuorum dan keputusannya juga tidak pernah mulus. Tentu penulis memaknai kelakar Gus Mus ini dari sudut pandang keheranan Gus Mus yang melihat NU tetap eksis dan bahkan tumbuh dan berkembang dengan signifikan sekalipun tidak seperti organisasi pada umumnya.
Nah, disaat orang mengatribusi NU hanya sebagai jama’ah ‘tidak terdidik’ yang hanya mampu berkumpul, faktanya organisasi ini memang terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup signifikan. Sekalipun tantangan dan catatan ‘perbaikan’ tetap saja dijumpai sebagai sebuah dinamika organisasi. Namun hasil riset Alvara tahun 2019 menyebutkan bahwa popularitas ritus keagamaan yang diidentifikasi berafiliasi dengan NU cukup populer dikalangan pedesaan (rural) dan bahkan perkotaan (urban). Hasil survey Lingkaran Survei Indonesia pun demikian, di tahun 2019 lalu LSI Denny JA menempatkan Nahdlatul Ulama sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan prosentase 49,5 %.
Tidak hanya itu, jumlah perguruan tinggi yang berafiliasi dengan NU pertumbuhannya juga cukup pesat. Pesantren-pesantren NU juga mengalami perkembangan yang baik dengan trend positif karena tidak pernah sepi peminat. Bahkan anak-anak muda NU menunjukkan tingkat progresifitas yang cukup mapan diberbagai level. Nampaknya gerakan Post Tradisionalisme di lingkungan NU menunjukkan implikasi positif dengan munculnya berbagai aktivis muda NU di berbagai segmen.
Jika memang begitu, apa yang perlu dikhawatirkan? Tulisan ini tidak untuk menjawab kekhawatiran. Tulisan ini ingin melihat peluang dan tantangan masa depan NU Lumajang secara khusus dari berbagai aspeknya. Untuk menghindari subyektifitas, penulis ingin memaparkan fakta-fakta yang bersifat observasional yang dilakukan oleh penulis.
Pertama, penulis ingin melihat pesantren sebagai “produsen” dan penyangga NU. Data dari Kementerian Agama Lumajang menyebutkan jumlah pesantren di Lumajang berada dikisaran 159 pondok pesantren dengan puluhan ribu santri. Bahkan Pondok Pesantren (Pon Pes) Miftahul Ulum Banyuputih Kidul, Pon Pes Kiai Syarifuddin Wonorejo, Pon Pes Bustanul Ulum Krai Yosowilangun dan Pon Pes Miftahul Midad Sumberejo Sukodono memiliki unit pendidikan hingga perguruan tinggi. Fakta ini menunjukkan bahwa Nahdlatul ulama melalui jaringan pesantren memiliki sumberdaya (resources) yang cukup melimpah. Lulusan pesantren dan perguruan tinggi pesantren bahkan banyak tersebar dan berdiaspora diberbagai posisi strategis.
Kedua, lembaga pendidikan milik Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU dan yang berafiliasi dengannya cukup banyak. Berdasarkan data dari LP Maarif NU Lumajang, jumlah lembaga pendidikan yang tergabung dengan LP Maarif NU Lumajang sebanyak 162 lembaga dari tingkat dasar hingga tingkat atas. Belum lagi lembaga pendidikan yang memiliki yayasan sendiri tetapi berafiliasi dengan LP Maarif NU Lumajang. Begitu pula lembaga pendidikan Diniyah yang berafiliasi dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMINU). Jumlahnya sebanyak 464 madrasah diniyah. Banyak bukan?
Ketiga, geliat lembaga dan Badan otonom di bawah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Lumajang sebelum Konfercab NU di bulan Desember 2022 lalu menunjukkan signifikansi yang cukup mapan. Khusus lembaga yang pengurusnya ditunjuk langsung oleh pengurus cabang itu, geliatnya sangat dirasakan di internal NU bahkan di ruang-ruang publik. Eksistensi Lembaga Ta’lif Wa Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Lumajang sebagai pembuka kran informasi dan penyebar ideologi organisasi (spreading values) cukup aktif di berbagai lini masa baik luring maupun daring. Bahkan kini memiliki Media Center An-Nahdlah (MCN) sebagai pusat publikasi dan informasi.
Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) sebagai konsolidator masjid-masjid NU cukup massif menggerakkan dan mengkonsolidir masjid NU sebagai pusat peribadatan. Bahkan sinerginya dengan Lembaga Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama (LWPNU) Lumajang dalam menata aset-aset strategis layak diapresiasi.
Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Lumajang cukup banyak memiliki Unit Pengumpul Zakat Infaq dan Shadaqah (UPZIS) di masing-masing MWCNU sebagai upaya organisasi melakukan pemberdayaan komunitas (community development) melalui charity approach.
Sinergi LAZISNU dengan Lembaga Penangulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Lumajang dalam penanggulangan bencana erupsi Semeru juga menjadi bukti kongkrit kerja-kerja kolektif organisasi. Melalui Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), PCNU Lumajang terus berupaya membangun Rumah Sakit NU sebagai amanah Konferensi dan di perkirakan sudah akan berdiri RSNU Permata di tahun 2023 ini.
Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Lumajang pun demikian, upaya menghimpun kekuatan perekonomian warga NU dengan cara membangun jaringan lintas lembaga NU dengan mendirikan Baitul Mal Wa Tamwil Nahdlatul Ulama (BMTNU) juga terlihat hasilnya. Setidaknya hingga kini sudah terbentuk beberapa cabang BMTNU di tingkat MWCNU.
Ditingkat badan otonom, Jamiyyatul Qurra’ Wal Huffazh NU (JQHNU) Lumajang juga berhasil menghimpun sumber daya Qori, Hafidz Qur’an, Mufassir dan para Khattath NU. Bahkan di awal tahun 2023 ini, JQHNU akan segera meresmikan Gedung Qur’an Center sebagai pusat perkantoran dan pusat koordinasi jaringan gerakan mengaji. Belum lagi Ansor-Banser, Fatayat, Pagar Nusa, Pergunu dan IPNU-IPPNU yang belakangan gencar melakukan kaderisasi dan capacity building, serta lembaga dan badan otonom lain yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
Dalam konteks birokrasi dan lembaga professional, kader NU berdiaspora di berbagai tempat. Bupati Lumajang dan Ketua DPRD Lumajang adalah potret kader NU yang berada di level tertinggi di Kabupaten. Belum lagi kader NU di ruang legislatif dan lembaga professional lain yang tak terhitung jumlahnya. Realitas ini menunjukkan bahwa masa depan NU di Kabupaten Lumajang sejatinya cukup cerah. Sekalipun demikian, sederet problematika dan pekerjaan rumah tentu tak mungkin dihindari. Profesionalitas dan disiplin organisasi, kontribusi terhadap peningkatan indek pembangunan manusia, pengentasan kemiskinan, penataan aset, peningkatan kesejahteraan warga NU, hingga upaya merapikan dan mengkonsolidasi kekuatan NU yang ‘berserakan’ bukanlah perkara mudah.
KHR. M. Husni Zuhri dan Gus Darwis sebagai Mandataris Konferensi dalam berbagai kesempatan menyampaikan dengan cukup “lantang” bahwa sinergitas NU dengan para pihak di dalam berbagai segmen harus di lakukan untuk menjadikan gerakan NU Lumajang yang mandiri, berdaya dan digdaya. Apalagi tanggal 16 Rajab 1444 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 2023 M yang akan datang adalah momen penting 1 Abad Nahdlatul Ulama.
Wallahu A’lamu Bis Shawab
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thoriq
Ditulis oleh: Dr. Ahmad Ihwanul Muttaqin, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Kiai Syarifuddin Wonorejo Kedungjajang Lumajang yang juga Ketua Panitia Satu Abad NU di Lumajang.