Salah satu peristiwa besar yang hanya terjadi sekali sepanjang kehidupan manusia adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW. Peristiwa agung ini menunjukkan keagungan Rasul yang terpilih menjadi subjek dalam peristiwa ini, sehingga peristiwa ini diabadikan oleh Allah di dalam Al-Quran yang menunjukkan keistimewaan peristiwa tersebut. Allah SWT berfirman:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: ’’Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’’ (QS Al-Isra’ : 1)
Peristiwa ini teramat penting karena Nabi Muhammad membawa oleh-oleh bagi umatnya berupa kewajiban shalat lima waktu setiap harinya. Umat muslim bisanya merayakan Isra’ dan Mi’raj pada malam 27 Rajab.
Peristiwa ini terjadi manakala Rasulullah saat itu dirundung duka karena ditinggal wafat oleh istrinya, Sayyidah Khadijah al-Kubra dan Abu Thalib, pamannya. Allah memperjalankannya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, hingga ke Sidratul Muntaha ditemani Malaikat Jibril.
Kisah tersebut diceritakan secara terperinci dalam sebuah kitab tipis karya Syekh Najmuddin al-Ghaithi dengan judul Qishshatul Mi’raj. Kitab ini kemudian diberikan catatan kritis dan penjelasan yang lebih luas oleh Sayyid Ahmad ad-Dardiri.
Seperti cerita-cerita rakyat Indonesia, Syekh al-Ghaithi mengawali kitabnya ini dengan sebuah kata, baynama, pada suatu ketika, di suatu waktu. Hal ini menunjukkan kekhasan bahwa kitab ini memang mengandung unsur-unsur sastra.
Bahasanya juga diatur sedemikian rupa dengan detail-detail yang sedemikian rinci, deskripsi yang sangat jelas sehingga pembaca seolah-olah turut mengikuti langsung perjalanan Nabi Muhammad. Pembaca diantarkan dari satu tempat ke tempat lain dengan sedemikian halus seperti penulis enggan meninggalkan pembaca detik per detiknya dari peristiwa perjalanan itu.
Kisah ini diawali dari keberadaan Nabi Muhammad yang tengah berada di kediamannya. Kemudian Malaikat Jibril, Mikail, dan satu malaikat lain datang membawa air zamzam. Lalu, ketiga malaikat itu melakukan ‘operasi’ menyucikan hati Nabi dari berbagai keburukan dengan zamzam itu dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan, mulai dari pengetahuan, keyakinan, hingga keislamannya.
Syekh al-Ghaithi juga menceritakan Buraq yang menjadi kendaraan Nabi dalam melakukan perjalanan itu. Detailnya dijelaskan, mulai dari warnanya yang putih, tingginya di atas keledai dan di bawah kuda. Ia juga menulis ‘kecanggihan’ kendaraan ini yang barangkali belum ada padanannya sampai era sekarang, berkaitan dengan cara berjalannya yang jika menanjak, kaki belakangnya akan memanjang menyesuaikan, sedangkan jika menurun, kaki depannya akan memanjang menyesuaikan. Dengan begitu, Nabi Muhammad saw yang berada di atasnya tidak merasa naik turun, tetapi tetap rata.
Kemudian, perjalanan yang hanya semalam itu juga seperti perjalanan panjang berhari-hari. Pasalnya, Rasulullah banyak menemui peristiwa yang memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan baru untuknya. Jibril yang mendampinginya dengan setia memberikan penjelasan dari setiap peristiwa yang dilalui bersama.
Dalam dua perjalanan inilah, Rasulullah bertemu dengan banyak golongan orang dan para nabi terdahulu yang membawa banyak hikmah. Pada perjalanan Isra’, Rasulullah bertemu dengan 11 golongan orang dengan berbagai macam tingkah lakunya. Sementara pada perjalanan Mi’raj, Nabi bertemu dengan 8 nabi yang memberi banyak pesan kehidupan kepadanya.
1. Orang-orang yang gemar bersedekah yang digambarkan dengan panen yang tak berhenti-henti.
2. Orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada agama Allah yang dicontohkan dari bau harum keluarga besar Masyithah yang dimasak hidup-hidup oleh Fir‘aun karena tidak mau mengakuinya sebagai Tuhan.
3. Pemalas mengerjakan shalat fardhu yang akan mendapat siksaan berupa kepala yang pecah dan kembali utuh dan berlangsung berkali-kali.
4. Orang-orang yang enggan bersedekah yang diibaratkan memakan pohon dhari’ (pohon kering dan berduri), zaqqum (tumbuhan yang rasanya pahit) dan batu yang panas.
5. Pezina yang lebih memilih wanita lain di luar istrinya sendiri yang diibaratkan dengan memilih daging busuk daripada daging empuk.
6. Para perampok atau pembegal yang akan mendapat balasan terbakar oleh kayu di tengah jalan akibat kelakuannya sendiri.
7. Pemakan harta riba yang diibaratkan seperti orang yang berenang di sungai yang penuh darah.
8. Golongan orang yang rakus jabatan yang diibaratkan dengan orang memikul kayu bakar berat di pundaknya, namun masih terus ingin menambah kayunya walaupun sebenarnya mereka tidak kuat memikulnya.
9. Para dai yang tidak mengamalkan ucapannya yang diperlihatkan lidah dan mulutnya dipotong dengan menggunakan gunting besi berulang-ulang.
10. Para pengumpat yang digambarkan dengan golongan orang yang berkuku panjang dan terbuat dari tembaga yang mencakar-cakar muka mereka dengan kuku tersebut.
11. Golongan provokator yang karena ulahnya menimbulkan masalah besar yang diibaratkan dengan keluarnya seekor sapi yang besar dari lubang kecil. Setelah itu sapi tersebut tidak mampu kembali masuk ke lubang.
Sementara dalam Sirah Nabawiyah karya Syekh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri, saat Mi’raj ke langit, Nabi Muhammad bertemu dengan 8 nabi dengan berbagai kejadian yang banyak mengandung hikmah mendalam. 8 nabi yang bertemu dengan Rasulullah adalah sebagai berikut:
1. Nabi Adam yang bertemu di langit lapis pertama.
2. Nabi Yahya yang bertemu di langit lapis kedua.
3. Nabi Isa yang bertemu di langit lapis kedua.
4. Nabi Yusuf yang bertemu di langit lapis ketiga.
5. Nabi Idris yang bertemu di langit lapis keempat.
6. Nabi Harun yang bertemu di langit lapis kelima.
7. Nabi Musa yang bertemu di langit lapis keenam.
8. Nabi Ibrahim yang bertemu di langit lapis ketujuh.
Di kitab Qishshatul Mi’raj ini juga dijelaskan bagaimana Nabi Muhammad bolak-balik bertemu Allah SWT terkait dengan kewajiban shalat, mulai dari 50 kali hingga akhirnya 5 kali dalam sehari karena sudah kadung malu enggan kembali lagi. Kembalinya Nabi untuk meminta ‘diskon’ itu atas arahan dari Nabi Musa yang ia temui di langit keenam.
Hal yang tak ketinggalan tentu saja ketidakpercayaan orang-orang kafir Makkah atas perjalanan semalam itu. Perjalanan yang memang tidak masuk logika karena hanya masuk pada dimensi keimanan. Nabi Muhammad SAW pun dicecar berbagai pertanyaan, mulai dari pintu Masjidil Aqsha hingga jumlah unta dalam rombongan yang ditemuinya. Di situ, Sayyidina Abu Bakar RA menjadi seorang yang langsung mempercai kisah yang diceritakan Nabi Muhammad.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiswa agung dan luar biasa ini, yaitu:
1. Dari sudut teologis, peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini mengajarkan tentang kekuasaan Allah yang tidak terhingga yang telah memperjalankan hamba-Nya dalam semalam ke Masjidil Aqsha dan ke Sidratul Muntaha sampai kembali lagi ke bumi yang wajib kita imani.
2. Dari sudut pandang sains, peristiwa Isra’ dan Mi’raj mengajarkan bagaimana dunia keilmuan masih menyisakan teori ilmiah yang belum terkuak. Bahkan para malaikat Allah mengatakan:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَاۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: ’’Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah : 32)
3. Dari sudut pandang moralitas, peristiwa ini mengajarkan bagaimana etika dan moralitas serta ketaatan seorang hamba kepada Allah, Sang Pencipta. Perintah shalat yang diterima Rasulullah itu menjadi kewajiban bagi orang-orang yang beriman. Namun shalat fardlu yang telah diringankan oleh Allah itu, ternyata menjadi begitu berat bagi sebagian kaum Muslimin.
4. Allah memilih perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha adalah karena ada ikatan ideologis yang sangat erat antara akidah Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad SAW di samping ikatan kemasjidan antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Ada banyak pelajaran penting yang dapat kita ambil dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. Ali Muhammad Shalabi dalam Sirah Nabawiyah: ‘Irdlu Waqai’ wa Tahlil Ihdats menjelaskan, ada empat pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut.
1. Isra’ dan Mi’raj adalah kemuliaan dan keistimewaan dari Allah kepada hambanya tercinta, Nabi Muhammad. Nabi ketika itu baru saja mengalami hal yang amat menyedihkan, yaitu wafatnya Siti Khadijah sebagai istri tercinta, yang selalu mengorbankan jiwa, tenaga, pikiran, dan hartanya demi perjuangan Nabi, dan wafatnya paman tercinta yaitu Abu Thalib, yang selalu melindungi Nabi dari kekejaman kaum Quraisy. Allah ingin menguatkan hati Nabi dengan melihat secara langsung kebesaran Allah, sehingga hati Nabi semakin teguh dalam menyebarkan agama Allah.
2. Kewajiban menjalankan shalat lima waktu bagi setiap muslim. Musthofa As Siba’i dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, Durus wa Ibar, menjelaskan bahwa jika Nabi melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya sebagai mukjizat, sebuah keharusan bagi tiap Muslim menghadap (mi’raj) kepada Allah swt lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyu’. Dengan shalat yang khusyu’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah.
3. Isra’ dan Mi’raj adalah mukjizat Nabi Muhammad dengan perjalanan beliau dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha. Dalam sejarah, itu adalah perjalanan pertama manusia di dunia menuju luar angkasa, dan kembali menuju bumi dengan selamat.
4. Dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj, terdapat penyebutan dua masjid umat Islam, yaitu Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Hal tersebut memberikan pelajaran bagi kita bahwa Masjidil Aqsha adalah bagian dari tempat suci umat Islam. Membela Masjidil Aqsha dan sekelilingnya sama saja dengan membela agama Islam.
Semoga kita selalu menjadi umat yang selalu dapat mengambil hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj ini dan dapat mengamalkannya. Sehingga peringatan Isra’ Mi’raj yang kita rayakan setiap tahun dapat senantiasa meningkatkan keimanan kita. Wallâhu a’lam bisshawab.