Bulan Ramadhan telah berada pada 10 hari kedua (pertengahan) terakhir, diantara ibadah sunnah di bulan Ramadhan adalah beri’tikaf.
Kendati i’tikaf bisa dilakukan kapan saja, tetapi i’tikaf lebih dianjurkan di bulan Ramadhan terutama di malamnya 10 hari terakhir.
Keutamaannya pun sangat besar, terlebih ketika dilakukan sebagai upaya untuk meraih keutamaan Lailatul Qadar yang dirahasiakan oleh Allah.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Hibban, Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ اعْتَكَفَ مَعِيْ فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
Artinya, “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir.”
Dalam ilmu sharaf, i’tikaf berasal dari kata i’tikafan (اِعْتِكَافًا) dalam bentuk mashdar ghairu mim yang artinya berdiam pada suatu tempat.
Secara terminologi, i’tikaf adalah berdiam diri di Masjid disertai dengan niat yang bertujuan semata-mata beribadah kepada Allah, berdzikir, bertasbih dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela.
Adapun rukun i’tikaf ada empat, yaitu niat, berdiam diri di Masjid sekurang-kurangnya selama thuma’ninah shalat, Masjid dan orang yang beri’tikaf.
Kemudian syarat-syaratnya ada tiga, yaiti beragama Islam, berakal sehat dan bebas dari hadats besar.
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah, akan tetapi bisa menjadi wajib apabila dinadzarkan. Bahkan, bisa menjadi haram apabila dilakukan oleh seorang istri atau hamba sahaya tanpa izin, dan menjadi makruh apabila dilakukan oleh perempuan yang bertingkah dan mengundang fitnah meski disertai izin.
Adapun yang membatalkannya itu ada sembilan:
(1) berhubungan suami-istri
(2) mengeluarkan sperma
(3) mabuk yang disengaja
(4) murtad
(5) haidh
(6) nifas
(7) keluar tanpa alasan
(8) keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda
(9) keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluarnya karena keingingan sendiri.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain mengkategorikan i’tikaf menjadi tiga macam, yakni:
(1) i’tikaf mutlak
(2) i’tikaf terikat waktu tanpa terus-menerus
(3) i’tikaf terikat waktu dan terus-menerus.
1. Niat i’tikaf mutlak:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِيْ هٰذَا الْمَسْجِدِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat i’tikaf di Masjid ini karena Allah Ta’ala.”
2. Niat i’tikaf terikat waktu tanpa terus-menerus:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِيْ هٰذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا
لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat i’tikaf di Masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah Ta’ala.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِيْ هٰذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat i’tikaf di Masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah Ta’ala.”
3. Niat i’tikaf terikat waktu dan terus-menerus:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِيْ هٰذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat i’tikaf di Masjid ini fardhu karena Allah Ta’ala.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِيْ هٰذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat i’tikaf di Masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah Ta’ala.”
Jadi, orang yang berniat i’tikaf harus menyebutkan status fardhu i’tikafnya apabila dinadzarkan.
Dalam i’tikaf mutlak, apabila seseorang keluar dari Masjid tanpa bermaksud kembali lagi, maka harus berniat lagi apabila kembali, sebab i’tikaf yang kedua setelah kembali itu dianggap baru.
Berbeda halnya jika ia berniat kembali, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru walaupun kembalinya ke Masjid lain.
Maksud batalnya ialah hanya terputus kelangsungan i’tikafnya saja, sehingga tidak bisa disambungkan dan diperbarui dengan i’tikaf sebelumnya, namun i’tikaf tersebut dianggap sah secara sendiri-sendiri.
Apabila i’tikaf yang terikat waktu tanpa berturut-turut itu batal, jika memulainya lagi, maka hendaknya memperbarui niat dan menggabungkannya dengan dengan i’tikaf sebelumnya. Maksud batalnya adalah waktu batal tidak dihitung sebagai bagian dari i’tikaf.
Apabila kelangsungan dan kelanggengan i’tikaf yang terikat waktu berturut-turut itu batal, maka harus mengawalinya dari awal, meskipun i’tikaf yang telah dilakukannya bernilai pahala selama yang membatalkannya bukan murtad.
Wallâhu a’lam bisshawab