Bukan Resolusi Qital, Tapi Resolusi Jihad

oleh -dibaca 1687 orang
Ilustrasi Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari. Sumber: https://www.nu.or.id/

Oleh: Nur Yasin *

Ulama yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama telah mengeluarkan fatwa perang pada masa perjuangan kemerdekaan yang diprakarsai Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Fatwa ini akhirnya meletupkan kobaran perang terhadap bangsa Indonesia melawan pasukan penjajah, khususnya di Jawa Timur kala itu.

Fatwa ini telah memicu semangat juang para pejuang. Gelombang pasukan perang dari berbagai wilayah datang seperti air bah untuk menyambut pasukan penjajah di Surabaya. Fatwa ini telah menciptakan rentetan perang besar bersejarah di Surabaya.

Karena begitu besarnya perang tersebut, sehingga dipuncaknya tercatat sebagai hari pahlawan bagi bangsa Indonesia, pada 10 November 1945. Fatwa “Resolusi Jihad” telah menjadi noktah digdaya bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Apa itu “Resolusi Jihad”? Ia hanya catatan di lembaran kertas tapi diucapkan oleh seorang ulama besar, kharismatik dan dengan kualitas keilmuannya yang bergensi.

Resolusi Jihad tidak dibuat oleh seorang yang minim dan dangkal pengetahuannya, sehingga memiliki daya magnet yang besar.

Resolusi Jihad tidak dibuat oleh seorang yang sempit akalnya dan pendek pandangannya, visinya melambung ke depan untuk generasi, sehingga diksi yang dipilih jatuh pada kata “Resolusi Jihad”, bukan Resolusi Qital atau bahkan Revolusi Qital.

Resolusi Qital nampaknya lebih seru tapi serem. Qital memiliki arti perang dalam arti angkat senjata satu sama lain. Dalam hal ini ada pihak yang berposisi sebagai penyerang duluan (ofensif/huju>mi>) dan ada yang berpihak mempertahankan diri (defensif/difa>’i>).

Pihak terakhir ini tidak suka perang kecuali diperangi, baru dia akan berperang untuk mempertahankan diri. Dalam al-Qur’an, terdapat ayat yang sering dijadikan pedoman untuk berperang bagi kelompok yang suka berperang.

Ayat tersebut sangat gurih bagi mereka, karena secara teks bernilai legitimate dan memiliki aspek historis (asbabun nuzul), berikut ini ayatnya:

أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْن بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ

BACA JUGA:   Peran dan Posisi NU dalam Perdamaian Dunia

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (al-Hajj: 39)

Sejatinya, ayat di atas menerangkan tentang illatnya perang yakni kedzaliman pihak lawan (Syekh Mutawalli al-Sya’rawi).

Jika pihak lawan telah melakukan kedzaliman/tirani maka harus diperangi, misalnya lawan mau menyerang, lawan mengganggu dakwah, lawan merencanakan penghacuran. Maka dalam hal ini, harus ada persiapan menghadapi lawan tersebut.

Dan dalam prakteknya, Nabi Muhammad s.a.w melakukan perang terhadap lawan sifatnya mempertahankan diri (defensif/difa>’i>) dengan caranya masing-masing, seperti peristiwa perang Badar, Uhud, Mu’tah dan Khaibar. Meskipun pada dasarnya, agama Islam sangat mengutuk peperangan karena peperangan tidak menyisakan apa kecuali kehancuran.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad s.a.w berhasil mengangkat derajat perang meskipun tetap berbau anyir darah, tetapi menjadi lebih mulya dengan pelarangan keras membunuh orang tua renta, anak-anak kecil, perempuan dan tempat ibadah. Karena sebetulnya, perang memang hanya terjadi dan tugas antara pasukan perang, bukan penduduk umum.

Itulah Qital, beraroma kekerasan dan konflik berdarah, karena kata “Qital” memang terkhusus untuk kata perang fisik.

Bagaimana dengan kata “Jihad”? Kata “Jihad” memiliki arti yang luas dan mendalam. Terdapat beberapa pandangan dari ulama tentang makna Jihad, diantaranya bahwa Jihad bermakna perang melawan musuh, perang melawan setan dan perang melawan hawa nafsu diri sendiri (al-Ragib al-Ashfihani). Perang melawan musuh, telah jelas pembahasannya. Perang melawan setan, diekspresikan sebagai perang melawan kemalasan melakukan ibadah.

Perang melawan hawa nafsu, diekspresikan sebagai perang melawan seluk beluk nafsu negatif yang bersemayam dalam diri pribadi. “Jihad” ibarat kapal induk yang memiliki kapal skoci, berupa pasukan perang melawan musuh, pasukan perang melawan setan dan pasukan perang melawan hawa nafsu.

Kata “Jihad” memiliki keluwesan makna sesuai kebutuhan dan peruntukannya. Siapa dalam kondisi apa dan apa untuk apa?

BACA JUGA:   Peringatan Hari Lingkungan Hidup, Momen Refleksi Mencegah Kerusakan Lingkungan di Lumajang

Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945, kata “Jihad” sangat jelas konteksnya. Bangsa Indonesia sedang dalam keadaan terancam karena tanah air dan kehormatan bangsa hendak direbut dan dihacurkan. Maka tidak ada kata lain selain perang melawan penjajah.

“Jihad” pada waktu itu jelas peruntukannya sebagai perang sabil membela tanah air dan bangsa. Andaikan waktu itu, kata “Jihad” dimaknai sebagai perang melawan hawa nafsu diri sendiri, jelas bukan pada tempatnya.

Maka dalam hal ini, “Jihad” sebagai kapal induk harus mengutus kapal skoci yang berisi pasukan perang melawan musuh. Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka kapal skoci tersebut harus kembali kepada kapal induk.

Tinggal saat ini, apa yang dibutuhkan umat kepada “Jihad” sebagai kapal induk. Saat ini, disyukuri atau tidak, bangsa Indonesia mendapat anugerah besar, sebagai bangsa yang damai. Dalam keadaan damai, selain bersyukur, harus memainkan insting kewaspadaan agar kedamaian tidak terganggu. Peran ini termasuk bagian dari “Jihad”.

Oleh karena itu, “Jihad” harus memainkan peran skocinya yang lain, perang melawan setan dan perang melawan hawa nafsu. Peran ini tidak kalah kompleksnya dengan perang melawan musuh fisik. Karena yang dihadapi ialah dirinya sendiri atau saudaranya sendiri. Setiap zaman memiliki tantangan tersendiri bagi penghuninya.

Bagi generasi yang sadar harus cerdas dan peka terhadap situasi zamannya. Sebagaimana perkataan ulama:

عَلَى اْلعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ عَارِفًا بِزَمَانِهِ

“Seorang yang berakal harus memahami situasi zamannya”

Peran “Jihad” di masa kini membutuhkan kemampuan dan seni hidup yang berkualitas agar dapat mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan baik, sebagai balas jasa kepada para pendahulu yang telah berjuang mempertaruhkan harta benda dan nyawa.

Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai para pendulunya. Maka tidak lain, hidup di zaman milenial yang penuh tantangan digital ini, harus berjihad melawan kebodohan, membekali diri dengan agama dan ilmu pengetahuan yang benar, bermental merdeka, tidak tepenjara oleh kecanggihan tehnologi.

BACA JUGA:   Peran Strategis Pondok Pesantren Lestarikan Ajaran Aswaja 

Justru sebaliknya, harus menundukan tekhnologi. Kebudayaan dan tradisi bangsa wajib dilestarikan. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama memiliki pedoman perjuangan yang senantiasa pas dipakai kapanpun.

الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ اْلصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ

“Menjaga nilai-nilai terdahulu yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang maslahat”

Kata “Resolusi Jihad” terdengar menggema, membahana tapi bijaksana. Ia memiliki makna luas, mendalam dan visioner. Para ulama yang kapabel memang ialah mereka yang memiliki kualitas keilmuan dan ketajaman insting. Mereka cermat dalam pemilihan kata, karena sebuah redaksi yang gegabah akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Juga, yang dipilih bukan kata “Revolusi”, akan tetapi “Resolusi”. Di zaman perjuangan kemerdekaan, kata “Revolusi” menjadi kata yang membangkitkan semangat perjuangan. Di luar negeri juga booming kata “Revolusi”. Kata ini menjadi kata kebanggaan bagi kaum revolusioner.

Tetapi dalam prakteknya, “Revolusi” memang memberikan perubahan, tetapi kerapkali menyisakan luka bagi generasi berikutnya. Karena dalam “Revolusi” terkadang terjadi praktek yang gegabah karena dipicu oleh semangat perubahan yang ingin segera terwujud.

Betapa cerdasnya Nahdlatul Ulama, yang dalam hal ini Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, memilih diksi “Resolusi Jihad”. Kini, fatwa tersebut dirasakan manfaat besarnya, bukan hanya bagi golongan tertentu tapi bagi bangsa Indonesia.

Andaikan yang dipilih kala itu ialah kata “Resolusi Qital”, maka kemungkinan akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Fatwa ini kemungkinan akan terkubur selamanya atau mungkin akan hidup tetapi akan menjadi fatwa gentayangan yang menghantui kehidupan bangsa Indonesia.

Namun, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, tertulislah kata fatwa yang digdaya nan elegan, bukan Resolusi Qital tapi “Resolusi Jihad”.

والله أعلم بالصواب

*Penulis: Dosen STAI Bustanul Ulum Krai Yosowilangun Lumajang, MWC NU Tekung, Anggota LPTNU PCNU Lumajang