Sudah cukup masyhur bahwa selepas puasa Ramadhan sebulan penuh dan merayakan hari Idul Fitri 1 Syawal, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa enam hari (tanggal 2 sampai 7 Syawal) dan tahun 2024 ini bertepatan dengan hari Kamis (11/04) sampai Selasa (16/04).
عن أبي أيوب رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتَّا مِنْ شََوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Ayyub RA, sesungguhnya Rasullullah SAW bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.” (HR Muslim)
Dengan demikian, status hukum puasa Syawal adalah sunnah bagi orang yang tak memiliki tanggungan puasa wajib, baik qadha puasa Ramadhan atau puasa nadzar.
Bagi orang yang punya hutang puasa Ramadhan karena udzur misalnya sakit, perjalanan jauh, atau lainnya, maka status hukum berubah menjadi makruh.
Namun, apabila tidak berpuasa Ramadhan karena kesengajaan, tanpa udzur, maka status hukum berubah menjadi haram. Sebaiknya, tunaikanlah dulu puasa wajib, baru kemudian puasa sunah Syawal.
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam Kitab Fathu al-Qarib al-Mujib ala Tahdzibi at-Targhib wa at-Tarhib, sebaiknya puasa Syawal dilakukan secara berturut-turut setelah hari raya Idul Fitri.
Namun, jika memisahkan dan menundanya dari awal bulan maka hal itu diperbolehkan. Pasalnya, Imam Malik tidak menyukai orang-orang yang berpuasa setelah Idul Fitri, karena takut masyarakat menganggapnya wajib.
Puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa Syawal ibarat berpuasa setahun karena pahalanya sepuluh kali lipat, hal ini sebagaimana firman Allah SWT berikut:
مَنْ جَآءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
Artinya: “Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya.” (QS Al-An’am : 160)
Mengacu pada penjelasan ayat tersebut, jika dikalkulasikan maka satu bulan puasa Ramadhan dikali 10 sama dengan 10 bulan, kemudian 6 hari puasa Syawwal dikali 10 sama dengan 2 bulan. Jadi 10 bulan ditambah 2 bulan sama dengan 12 bulan atau satu tahun.
Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, seseorang diperkenankan menentukan puasa Syawal, misalnya tiap hari Senin dan Kamis, melewati tanggal 13, 14, 15, dan seterusnya selama masih berada di bulan Syawal.
Seandainya seseorang berniat puasa Senin dan Kamis atau puasa ayyamul bidh (13,14, 15 setiap bulan hijriah), ia tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal sebab tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apa pun niat puasanya.
Adapun tata caranya yaitu sebagai berikut:
Waktu dan Lafal Niat
Berbeda dengan puasa Ramadhan, niat puasa Syawal bisa dilakukan pada siang hari. Seseorang yang malam harinya tidak berniat, tapi mendadak di pagi atau siang hari ingin mengamalkan puasa Syawal, maka diperbolehkan baginya berniat sejak ia berkehendak puasa sunnah saat itu juga.
Tentu saja dengan catatan, sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq (subuh).
Niat tersebut cukup digetarkan di dalam hati bahwa ia bersengaja akan menunaikan puasa sunah Syawal. Tanpa mengucapkan niat secara lisan, puasa sudah sah. Untuk memantapkan, ulama menganjurkan melafalkannya sebagai berikut:
Untuk niat malam hari dengan kalimat berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah Ta’ala.”
Untuk niat siang hari dengan kalimat berikut ini:
نَوَيْتُ صَوْمَ هٰذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah Ta’ala.”
Bulan Syawal atau Idul Fitri di Indonesia pasti diiringi dengan tradisi halal bihalal, yaitu bersilahturahmi ke rumah keluarga, saudara, kerabat dan lainnya.
Lalu bolehkah berhenti puasa di tengah jalan karena ada alasan tertentu, misalnya karena sedang bertamu atau menghormati tamu? Jawabannya boleh.
Sebab, Rasulullah sendiri pernah menegur sahabatnya saat bertamu dan disuguhi makanan tapi ia menolak karena ia sedang berpuasa sunah. Nabi pun memintanya membatalkan dan mengqadhanya di lain hari.
Para ulama akhirnya merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.
Bahkan Sayyid Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin menjelaskan, dalam kondisi seperti itu pahala membatalkan puasa lebih utama dari pada pahala berpuasa.
Apabila ada indikasi kuat puasa kita tidak mengganggu perasaan orang lain atau tidak menimbulkan kendala-kendala untuk sesuatu yang juga penting, sebaiknya puasa dituntaskan hingga maghrib.
Apabila yang terjadi malah sebaliknya, maka boleh dibatalkan karena masih ada alternatif hari lain untuk menunaikannya. Wallâhu a’lam bisshawab