Sudah lumrah didengar, Rabu terakhir di Bulan Safar sering diistilahkan Rabu Pungkasan atau Rebo Wekasan. Sedangkan bulan Safar yang merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriyah banyak diyakini orang terdahulu sebagai bulan yang sial, bahkan sampai saat ini masih ada yang memiliki keyakinan bulan Safar sebagai bulan sial.
Keyakinan akan turunnya bala’ pada rabu terakhir bulan Safar, diperoleh dari sufi yang kasyaf, bahwa pada hari Rebo Wekasan ada 320 ribu bala yang turun untuk setahun, sebagaimana ditulis Syekh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur.
Namun keyakinan itu tidak mengarah pada kebenaran secuilpun. Sebab, sehat atau sakit, musibah atau selamat, miskin atau kaya, semuanya dikembalikan pada kehendak Allah SWT. Begitu juga waktu, baik atau buruknya kembali kepada kehendak Allah SWT, bukan dengan ramalan atau perhitungan hari atau bulan.
Di dalam Hadis Qudsi, Allah berfirman:
(يُؤْذِنِيْ اِبْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَهْرَ وَأَنَا الدَهْرُ, بِيَدِيْ الأَمْرُ أُقَلّبُ اللَيْلَ وَالنَّهَارَ (رواه البخاري ومسلم
“Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela waktu atau masa. Padahal Aku-lah yang mengatur dan metetapkan waktu. Di tanganKulah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis di atas, dapat ditarik benang merah, sandaran tawakal manusia hanyalah kepada Allah SWT. Tapi ingat, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah SWT, tidak berarti bagi setiap orang boleh bermaksiat seenaknya saja. Sebab, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat.”
Hadis ini secara tersirat memerintahkan kita agar senantiasa berikhtiar untuk terhindar dari segala musibah.
Status Shalat Rebo Wekasan
Amalan yang kerap kali dilaksanakan masyarakat saat Rebu Wekasan adalah shalat Rebo Wekasan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Letak perbedaan pendapat shalat Rebo Wekasan terletak pada titik niat, jika niatnya murni untuk Shalat Rebo Wekasan maka hukumnya tidak sah dan haram. Hal ini sesuai dengan prinsip kaidah fiqih:
والأصل في العبادة أنها إذا لم تطلب لم تصح
Artinya: Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib Hasyiyah ‘ala al-Iqna’, juz 2, halaman 60).
Dilansir dari lampung.nu.or.id apabila Shalat Rebo wekasan diniati shalat sunnah mutlak, ulama berbeda pandangan.
Menurut Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari hal itu adalah haram. Dalam pandangan beliau, anjuran shalat sunnah mutlak yang ditetapkan berdasarkan hadits sahih tidak berlaku untuk shalat Rebo wekasan, sebab anjuran tersebut hanya berlaku untuk shalat-shalat yang disyariatkan.
Meski begitu, Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki mengatakan hukumnya boleh.
Menurut beliau, solusi untuk membolehkan shalat-shalat yang ditegaskan haram dalam nashnya para fuqaha’ adalah dengan cara meniatkan shalat-shalat tersebut dengan niat shalat sunnah mutlak. Beliau menegaskan:
قلت ومثله صلاة صفر فمن أراد الصلاة فى وقت هذه الأوقات فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له . انتهى
Artinya: Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Safar (Rebo Wekasan), maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati shalat sunnah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunnah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, halaman 22)
Hukum mengamalkan amalan khusus Rebo Wekasan
Adapun amalan-amalan lain yang dilakukan saat Rebo Wekasan, al-Imam Muhammad Abdur-Rauf al-Munawi, salah satu ulama ahli hadis berkata:
وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّخْوِيْفِ وَالتَّحْذِيْرِ أَيِ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلَاكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ.
“Boleh menyebut Rabu sebagai ‘sial’ dengan cara untuk memberi peringatan. Yakni, hindarilah hari itu, karena pada itu turun azab yang menyebabkan kebinasaan. Perbaharuilah taubat kepada Allah swt, agar kamu tidak mengalami petaka seperti yang dialami kaum terdahulu.” (Al-Imam Muhammad Abdur-Rauf al-Munawi, Faidhul-Qadir Syarhul-Jami‘ ash-Shaghir, juz 1 hlm. 62)
Dengan demikian, boleh mengamalkan amalan-amalan di hari Rebo Wekasan, seperti doa dan lain sebagainya dengan tanpa meyakini hari itu sebagai hari yang pasti sial.
Pastinya, hal itu diperbolehkan apabila tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Jika amalan-amalan itu bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka hukumnya jelas tidak diperbolehkan. Wallahu a‘lamu bish-shawab.