Mempercayai Hari Nahas, Bolehkah?

oleh -dibaca 1737 orang
Ilustrasi

Sebagian masyarakat percaya bahwa ada hari dan bulan tertentu yang dijadikan pantangan (naas/nahas) jika hendak punya hajatan, walimahan atau selamatan. Bulan Muharram (Suro) misalnya, banyak orang tua menghindari bulan ini untuk menikahkan anaknya.

Mitos yang berkembang, menikah pada bulan Muharram berarti menantang bahaya. Mungkin kejadian itu hanyalah kebetulan saja. Misalnya, ada suami-istri yang menikah di bulan Muharram lalu bercerai. Padahal tidak sedikit yang menikah di bulan Dzulhijjah yang dianggap bulan baik untuk menikah, rumah tangganya berantakan dan berakhir dengan perceraian.

Selain bulan, ada pula yang menghindari acara-acara hari bahagia di hari meninggalnya bapak atau kakeknya. Maka jangan heran, jika menentukan walimahan sangat rumit, karena harus menghindari hari naas keluarga calon mempelai pria dan wanita.

Orang tua yang terlalu yakin dengan petungan (hitungan hari baik) rela mengurungkan atau mengundur pernikahan putra-putrinya berbulan-bulan jika belum mendapatkan hari baik, seakan mereka menganggap kebanyakan hari atau bulan adalah buruk.

Masyarakat juga masih mempercayai beberapa hari yang dianggap angker dan membawa tabiat buruk. Misalnya malam Selasa Kliwon dan malam Jum’at Kliwon. Menentukan nasib dengan menghitung hari tak hanya dianut orang tua yang terbelakang dan kejawen, kaum remaja dan orang berpendidikan tinggi juga tak lepas dari mempercayai ramalan bintang ataupun ramalan lainnya.

Tabloid-tabloid hiburan seringkali memuat tentang nasib seseorang menurut bintangnya, semacam Taurus, Sagitarius dan sejenisnya. Setiap tanggal lahir ada nama bintangnya, lalu diramal nasib, rejeki, asmara dan sebagainya. Penghitungan hari dipakai pula oleh sebagian orang untuk menentukan hari peletakan batu pertama atau ketika memulai usaha baru.

BACA JUGA:   Bolehkah Bertabarruk kepada Orang, Jejak atau Tempat?

Untuk menanggapi kejadian-kejadian di atas, maka kami akan memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abi Hurairah dalam kitab Shahih-nya yang melarang kita mempercayai hari na’as dan ramalan:

لَاعَدْوَى وَلَاطِيَرَةَ وَلَاهَامَةَ وَلَاصَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.”

Lafal La ‘Adwa, maksudnya adalah menolak keyakinan orang-orang jahiliyah tentang sebagian penyakit yang menurut mereka dapat menular tanpa menyandarkan kepada Allah SWT. Oleh karenanya, ketika orang A’rabi (pedalaman) bertanya tentang unta yang sehat dapat terkena penyakit kudis hanya karena terkumpul dengan unta yang berkudis, maka Nabi SAW menjawab:

فَمَنْ اَعْدَى الْأَوَّلَ؟

Artinya: “Siapakah yang dapat menulari unta yang pertama?”

Maksudnya, unta yang pertama terkena kudis bukan karena tertular melainkan karena ketentuan Allah SWT. Namun banyak sekali hadits-hadits yang secara tekstual bertentangan dengan hadits di atas, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di dalam kitab Shahih Bukhari Muslim:

لَايَرِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحَّ

Artinya: “Janganlah menggiring unta yang berpenyakit kepada unta yang sehat.”

اِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُوْنِ فِيْ اَرْضٍ فَلَاتَدْخُلُوْهَا

Artinya: “Jika kalian mendengar penyakit tha’un di suatu daerah maka kalian jangan masuk.”

BACA JUGA:   Tidak Sengaja Menelan Sisa Makanan, Batalkah Puasanya?

Hadits-hadits di atas jika dicermati secara mendalam sebenarnya tidak ada pertentangan. Sebab makna sebenarnya adalah menafikan sesuatu yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah bahwa penyakit-penyakit itu bisa menular dengan sendirinya tanpa ada keyakinan takdirnya Allah SWT.

Selanjutnya, lafal La Thiyarah maksudnya tidak boleh menganggap sial karena pertanda dari suatu kejadian. Orang-orang jahiliyah dahulu menaruh kepercayaannya kepada burung. Apabila mereka hendak keluar untuk keperluan, terlebih dahulu mereka melihat burung. Jika burung terbang ke arah kanan maka mereka menganggap baik, dan jika terbang ke arah kiri mereka menganggap sial dan mengurungkan kepergiannya. Terkadang mereka juga menerbangkan burung untuk menentukan baik dan sialnya.

Maka dari itu, Nabi SAW melarangnya dan membatalkannya dengan hadits ini, dan Nabi SAW memerintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah SWT dengan hadits beliau yang diriwayatkan Ibnu ‘Adi dengan dua sanad dari Abi Hurairah:

اِذَا تَطَيَّرْتُمْ فَامْضُوْا وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْا

Artinya: “Apabila kalian beranggapan sial karena sesuatu, maka berlalulah dan pasrahlah kepada Allah.”

Maksud dari lafal hadits La Hamah di atas, kita tidak boleh menganggap akan bernasib sial dengan adanya burung hantu. Sebab orang-orang jahiliyah merasa akan bernasib sial apabila ada burung hantu hinggap di rumah mereka. Muncul perasaan bahwa burung tersebut membawa berita kematian dirinya sendiri atau anggota keluarganya.

Terakhir lafal La Shafara, konon orang Arab menganggap adanya sial dengan datangnya bulan Shafar. Mereka beranggapan banyak musibah dan fitnah yang akan terjadi di bulan itu.

BACA JUGA:   Panduan Lengkap Merawat Jenazah, Mulai Memandikan Hingga Menguburkan

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah menerangkan:

مَنْ يَسْأَلْ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لِإِيْجَابٍ إِلَّا بِالْإِعْرَاضِ عَنْهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ وَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لاَ مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَى خَالِقِهِمْ وَبَارِئِهِمِ الَّذِيْنَ لَا يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الْأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيِّ كَرَّمَ اللّٰهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لَا أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ

Artinya: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali karramallahu wajhah adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu.”

Kesimpulannya, semua hari atau bulan itu sama, tidak ada kekhususan di antara satu dengan yang lainnya. Setiap waktu, hari atau bulan pasti terjadi keberuntungan bagi seseorang atau kesialan bagi yang lainnya, sesuai dengan yang Allah kehendaki dari kebaikan atau keburukan.

Semua hari atau bulan pasti terkait dengan dua perkara, tidaklah malam menjelang siang dan tidaklah siang menjelang malam terkecuali untuk menerapkan semua yang Allah kehendaki.

Wallâhu a’lam bisshawab.