NU-LUMAJANG.OR.ID, Lumajang. Rangkaian peringatan Hari Santri Nasional ke-10 di Kabupaten Lumajang akhirnya mencapai puncaknya dengan digelarnya Resepsi Hari Santri Nasional 2025 bertajuk “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia”. Acara tersebut berlangsung di Auditorium Kantor Kementerian Agama Lumajang pada Sabtu malam (08/11/2025).
Ketua PCNU Lumajang, KH Muhammad Darwis, dalam sambutannya menegaskan bahwa peringatan Hari Santri bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan momentum untuk meneguhkan komitmen keagamaan dan kebangsaan.
“Menjadi santri berarti memikul dua beban sekaligus, yakni beban keagamaan dan kebangsaan. Dua hal ini tidak boleh luntur dari diri seorang santri,” tegas KH Muhammad Darwis yang akrab disapa Gus Darwis.
Ia juga menekankan bahwa Nahdlatul Ulama akan senantiasa berada di garis depan dalam menjaga keutuhan dan kemajuan bangsa.
“Tidak ada ceritanya PCNU Lumajang tidak mendukung pemerintah. Keberadaan NU adalah bentuk khidmah kepada bangsa dan negara,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Darwis mengutip gagasan KH Zaini Mun’im tentang Panca Kesadaran Santri (Al-Wa’yu Al-Khamsah) yang harus dimiliki setiap santri, baik yang mukim di pesantren maupun yang berkhidmah di jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Menurutnya, kesadaran pertama yang harus dimiliki santri adalah kesadaran keagamaan (Al-Wa’yud Dīnī). “Santri harus memiliki keteguhan dalam beragama, menjaga akidah dan akhlak, serta menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup,” jelasnya.
Selanjutnya, ia menyampaikan pentingnya kesadaran ilmu (Al-Wa’yul ‘Ilmī). Gus Darwis menyebut, santri tidak boleh berhenti menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu kehidupan.
“Dengan ilmu, santri dapat berperan aktif dalam membangun masyarakat dan menjadi bagian dari solusi bangsa,” ujarnya.
Kesadaran berikutnya, lanjutnya, adalah kesadaran sosial (Al-Wa’yul Ijtimā‘ī). Ia menjelaskan bahwa santri harus peka terhadap kondisi lingkungan sekitar, hadir memberi solusi, dan menjadi teladan di tengah masyarakat.
Ia juga menegaskan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara (Al-Wa’yul Ḥukūmī wa Asy-Syu‘bī).
“Santri adalah bagian dari kekuatan bangsa. Nilai keagamaan yang dipegang santri harus berjalan seiring dengan semangat kebangsaan,” katanya.
Adapun kesadaran terakhir adalah kesadaran berorganisasi (Al-Wa’yun Niẓāmī). Melalui organisasi, tambahnya, santri belajar disiplin, tanggung jawab, serta kebersamaan dalam mengelola potensi umat.
Gus Darwis menegaskan bahwa kelima kesadaran tersebut harus tertanam dalam diri setiap santri agar mampu menjaga marwah pesantren sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi peradaban bangsa, termasuk di antaranya menjadi santri Nahdlatul Ulama.
“Sebagaimana pesan KH Idham Chalid, sejatinya pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar,” pungkasnya.
Ungkapan ini menjadi pengingat bahwa santri bukan hanya penjaga agama, tetapi juga penggerak kemajuan bangsa menuju peradaban yang mulia.
Acara resepsi tersebut turut dihadiri jajaran pengurus NU di semua tingkatan, lembaga dan badan otonom NU, serta unsur pemerintah Kabupaten Lumajang.










