Ketika Nahdlatul Ulama lahir pada tahun 1926, para muassis (pendiri) tidak sedang memperdebatkan dasar negara atau bentuk konstitusi. Indonesia bahkan belum merdeka. Yang ada hanya kegelisahan dan cinta, yaitu kegelisahan melihat tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang perlu dijaga, dan cinta kepada umat yang harus dibimbing agar tetap teguh dalam arus zaman.
Pada masa itu, perjuangan NU bersifat kultural menguatkan pesantren, membenahi pendidikan umat, menjaga hubungan keilmuan dengan Haramain, serta memastikan peradilan agama tetap berpijak pada syariat. Negara masih berupa cita-cita, belum menjadi masalah yang harus ditetapkan bentuknya.
Namun sejarah bergerak ke babak baru. Saat gaung kemerdekaan mulai terasa pada awal 1940-an, NU ikut memasuki gelanggang yang lebih besar yaitu gelanggang kebangsaan. Di serambi-serambi pesantren, para kiai mulai membicarakan bukan hanya kitab kuning, tetapi juga masa depan tanah air. Mereka sadar, bangsa ini kelak membutuhkan fondasi kokoh yang mampu mengikat keragaman tanpa menyingkirkan agama.
Di sinilah kita melihat kejernihan NU sejak awal. NU tidak pernah memaksakan Indonesia menjadi negara Islam formal, namun juga tidak rela jika agama didorong keluar dari kehidupan publik. Yang diperjuangkan NU adalah negara yang ramah agama, negara yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariatnya tanpa memecah persatuan nasional.
Saat Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945 berlangsung, NU secara organisasi memang belum menjadi peserta penuh. Tetapi para ulama pesantren hadir melalui tokoh muda yang cemerlang dan visioner, KH. Abdul Wahid Hasyim, yang mampu mempertemukan nilai Islam dan nasionalisme dalam satu nafas. NU mendukung Piagam Jakarta sebagai kompromi paling maslahat kala itu.
Tetapi ketika tujuh kata yang mengatur kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya menimbulkan keberatan dari saudara-saudara bangsa di wilayah timur, NU mengambil keputusan yang kelak menjadi penentu arah republik dengan menerima perubahan itu demi menjaga keutuhan Indonesia sejak hari pertama kemerdekaan.
Keputusan ini tidak lahir dari kelemahan. Justru lahir dari kebesaran jiwa. Semangat yang kelak menjadi napas Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Berani di garis depan, tetapi selalu mengedepankan kemaslahatan. Memegang prinsip ‘Hubbul Wathan Minal Iman’, bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Inilah etos yang membuat Ansor tidak hanya bergerak dengan otot, tetapi juga dengan kejernihan akal. Banser tidak hanya maju dengan barisan, tetapi dengan tekad menjaga perdamaian dan persatuan. Jalan kebangsaan NU sejak awal yang berkarakter halus, sabar, tetapi tegas menjadi teladan yang diwarisi generasi muda dalam tubuh Ansor dan Banser hingga hari ini.
Memasuki sidang Konstituante (1955–1959), NU kembali menyuarakan aspirasi umat Islam. Namun ketika perdebatan tentang dasar negara tak menemukan akhir, NU menunjukkan kedewasaannya dengan menerima Dekrit 5 Juli 1959 sebagai jalan tengah agar bangsa tidak pecah dalam polarisasi ideologi.
Dan puncaknya terjadi pada Muktamar Situbondo 1984. Di sana, NU menegaskan dengan bahasa yang terang benderang bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Indonesia adalah ‘Darul Mitsaq’, negara perjanjian yang harus dijaga bersama.
Sejak saat itu, NU berdiri kokoh sebagai penjaga Pancasila. Bukan karena lupa sejarah, tetapi justru karena sangat memahami perjalanan panjang bangsa ini. Pancasila menjadi fondasi yang mampu merangkul semuanya baik agama, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Hari ini, ketika kita mendengar seruan “Pancasila harga mati!”, itu bukan seruan kosong. Itu gema dari keputusan-keputusan besar yang pernah diambil para kiai, lalu dijaga melalui keringat para kader Ansor dan barisan Banser yang berdiri tegak di lapangan-lapangan, jalanan, dan titik-titik rawan siang dan malam, tanpa pamrih.
Semua itu dirawat dalam satu kesadaran bahwa menjaga Indonesia adalah bagian dari menjaga amanat para muassis NU, Hubbul Wathan Minal Iman.
Perjalanan inilah yang membuat kita bangga menjadi bagian dari tradisi panjang NU. Tradisi yang berpikir jernih, bergerak tulus, dan mengabdi dengan sepenuh hati. Tradisi yang menyatukan agama dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas.
Penulis: H. Agus Ahmadi, S.Pd., Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Klakah
Selamet Angguniawan










