Tak terasa kita telah melewati beberapa hari bulan Sya’ban dan beberapa hari lagi akan memasuki dan menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Siapapun yang memiliki hutang puasa, diwajibkan mengqadhanya sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
Sebab, orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa serta wajib mengqadhanya dan wajib membayar fidyah.
Berikut adalah lafadz niat qadha puasa Ramadhan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan esok hari karena Allah ta’ala.
Dikutip dari redaksi Bahtsul Masail NU Online, orang yang membatalkan puasa demi orang lain seperti ibu menyusui, ibu hamil dan orang yang menunda qadha puasa karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya, mereka mendapatkan beban tambahan yakni diwajibkan membayar fidyah disamping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.
Dalam hadits riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha hutang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah.
Berdasarkan hadits tersebut, sudah jelas bahwa seseorang yang mempunyai kewajiban qadha dan fidyah adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba.
Perlu diingat, di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Namun, jika ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk udzur. Dan alasan seperti ini tidak bisa diterima, sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem saat shalat, tetapi tidak tahu batal shalat karenanya.
Beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berhutang sebelum dilunasi (Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, halaman 114).
Nah, dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-nunda. Kalau disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk per-hari puasa yang ditinggalkan.
Berikut adalah lafadz niat membayar fidyah:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardhu karena Allah ta’ala.
Maka dari itu, wajib bagi kita yang telah mengetahui wajibnya membayar ‘hutang’ puasa untuk segera membayar secepatnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Semoga kita semua sampai dan bertemu di Ramadhan tahun ini dengan keadaan terbebas dari qadha puasa, Aamiiin.
Wallâhu a’lam bisshawab