Cukup menarik perhatian cuplikan hadits Nabi Muhammad S.A.W yang berbunyi
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban”. (HR Imam Bukhari)
Sabda Agung ini mengandung pesan esensial kepada setiap individu umat Islam bahwa dirinya bukan makhluq kaleng-kaleng. Melainkan makhluq mulia yang memegang peran penting sebagai leader. Dan kepemimpinan atau leadership manusia berperan ganda. Sebagai pemimpin dirinya sendiri, ini otomatis dan sebagai pemimpin umat, jika diberi amanat.
Sebagai pemimpin dirinya, manusia berurusan dengan segala denyut nadinya yang berpacu, antara ajakan berbuat baik atau berbuat buruk. Jika manusia kalah dengan ajakan buruknya maka jadilah dia manusia yang bermasalah mentalnya. Namun jika manusia berhasil menekan ajakan buruknya maka jadilah dia manusia yang selesai mentalnya.
Ketika manusia diberi amanat untuk memimpin umat, maka dia bertugas memimpin dirinya sekaligus memimpin orang lain. Posisi ini lebih berat dan membutuhkan manusia yang cukup super kemampuannya. Maka pemimpin memang harus memenuhi syarat-syarat baik akademis maupun psikologis, sesuai urusan apa yang akan dipimpinnya.
Dalam status inilah manusia memiliki tanggung jawab ganda pula baik secara horizontal maupun vertikal. Dalam status ini, manusia juga bertambah bebannya karena harus menerima sorotan publik dengan berbagai warna lampunya. Beban kerja yang dirasakan pemimpin publik akan terasa sangat berbeda dengan yang bukan. Sehingga yang bukan pemimpin publik akan mudah menilai karena rasa beban lebih ringan.
Pemimpin publik bukanlah urusan ringan. Tentang pertanggung jawaban vertikal kepada Tuhan lebih mudah. Karena yang menjadi patokan ialah kejujuran. Tuhan Maha Mengetahui dan tidak bisa dibohongi. Jika benar-benar jujur akan ketahuan dan sebaliknya. Prosedurnya tidak ribet. Berbeda ketika berhadapan dengan sesama manusianya yang sama-sama tidak mengetahui secara pasti tentang kesungguhan kejujuran. Terkadang manusia yang benar-benar jujur justru dianggap bohong oleh yang lain. Kejujuran manusia ketika dihadapkan kepada Tuhan akan menjadi mutlak tetapi ketika dihadapan kepada sesamanya akan menjadi relatif.
Kepemimpinan publik manusia telah melintasi bumi ini dengan rangkaian adegan fase kehidupan manusia. Termasuk jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang telah puluhan tahun menjadi perahu bagi para jamaahnya. Sebagai organisasi yang berbasis keumatan maka organisasi ini terus menerus berupaya mengelola kepemimpinan.
NU telah mencicipi luasnya asam garam kehidupan semenjak berdirinya. NU lahir dari perjuangan lahir bathin para pemimpin umat yang canggih pada zamannya. Dalam perjalanannya, NU berkali-kali berpapasan dengan monster-monster yang berbahaya. Pada dekade awal berdiri sampai tahun 1940-an berhadapan dengan monster asing yang berakibat perang fisik. Namun NU dapat melalui badai itu dengan selamat.
Pada dekade 1950-an sampai 1960-an, NU berpapasan dengan monster dalam negeri yang dikendalikan asing. Namun NU dapat melalui badai itu dengan selamat. Pada dekade 1970-an sampai 1990-an, NU mengalami himpitan dari negaranya sendiri. Simpul-simpul NU dilemahkan hampir pada setiap tataran. Namun, NU lagi-lagi keluar dengan selamat. Pada dekade tahun 2000-an hingga terkini NU dengan kejayaannya menghadapi tantangan yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya.
Jika sebelumnya, NU mengahadapi ujian kepahitan, kini NU menghadapi ujian kenikmatan. Semenjak tahun 2000-an, memang relatif terasa nyaman ber-NU dan atribut NU menjadi pemandangan keren di tempat umum. Dan syukur alhamdulillah, PBNU nampak besar dengan fasilitasnya yang semakin membaik. Namun ujian kenikmatan ini ialah hal yang sangat samar dan halus dengan segala fasilitasnya. Diponegoro ialah pejuang perkasa di medan laga, tapi kemudian harus tunduk kepada Belanda karena tipuan yang halus.
NU selamanya tidak lepas dari urusan kepempinan dan umat. Maka prinsip pola tindak pemimpin harus bergantungan kepada maslahah semestinya berjalan on the track
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: “Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah,”
Namun tidak berhenti di sini. Jika ada tarik ulur antara maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) maka harus didahulukan menolak kerusakan.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: “Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mencabut kebaikan”.
Prinsip ini harus terus menerus disuarakan dan diingatkan. Hal ini karena, umat manusia membutuhkan keselamatan, keamanan dan kenyamanan hidup dan inilah prinsip hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex).
Pada abadnya yang ke-2 ini, NU diterpa badai lagi. Tiupannya dari dalam, seperti raksasa yang sedang masuk angin, menggeliat. Jutaan mata menyorotinya, ingin melihat gerakan sang raksasa selanjutnya.
والله أعلم بالصواب










