Suatu hari, datanglah seseorang kepada baginda Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Dia melapor bahwa dirinya telah tertimpa kecelakaan nafsu. Di siang bolong pada bulan Ramadan dia telah melanggar peraturan yang dilarang dalam Islam, menggauli istrinya. Kejadian itu diceritakan dalam hadits yang cukup dramatis. Andaikan peristiwa itu terjadi di zaman tiktok ini, niscaya akan menjadi adegan yang jenaka sekali dan menyimpan makna yang intrinsik.
Pada suatu waktu, para sahabat duduk-duduk di dekat Baginda Rasul. Kemudian, datanglah seorang pria menghadap kepada beliau. Lalu pria itu berkata, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria itu menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku sedang puasa”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria itu menjawab, “Tidak”. Lantas Rasulullah s.a.w bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Pria itu menjawab, “Tidak”. Rasulullah bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?”. Ternyata tidak disangka, dalam pertanyaan Rasulullah yang terakhir ini, jawaban pria tersebut juga “Tidak”.
Betapa lugunya pria tersebut. Dia dengan gentle melapor kepada Rasulullah tentang pelanggaran yang telah dilakukan dan seolah-olah dia siap dengan sanksi hukum yang akan diterimanya. Namun ternyata, sanksi hukum yang harus dijalankan di luar kemampuannya. Akhirnya dia tidak sanggup memenuhinya.
Setelah proses interogasi antara Rasulullah dan pria tersebut, suasana terdiam sejenak. Dan tiba-tiba, di tengah situasi itu ada orang yang memberi satu wadah Kurma kepada Baginda Rasul. Kemudian beliau berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?”. Pria yang tadi itu menjawab, “Ya, aku”. Kemudian baginda Rasul berkata, “Ambillah dan bersedekahlah dengannya (Kurma)”.
Dalam situasi itu, adegan terjadi lagi. Pria itu bertanya, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku”. Baginda Rasul langsung tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, “Berilah makanan tersebut kepada keluargamu”. (HR. Bukhori No. 1936, Darus Salam lin Nasyr, al-Riyad).
Betapa agama Islam ini sangat agung dengan rahmat-Nya. Betapa elegannya Baginda Rasul menerapkan suatu hukum kepada pelanggar hukum. Dan betapa-betapa kalimat indah yang lain yang dapat diekspresikan kepada peristiwa ini. Nabi Muhammad semacam memberi grasi terhadap pelaku dan malah memberi hadiah.
Minimalnya peristiwa itu bisa disorot dari 3 sudut pandang, pertama hukum Allah, kedua kebijakan Rasulullah dan ketiga pihak pelanggar. Pertama, hukum yang terjadi dari peristiwa di atas termasuk kategori Haqqullah murni, yakni kategori hukum yang jika dilanggar berefek dosa kepada Allah semata. Dalam hal ini, ada dosa kecil dan dosa besar.
Kedua, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keterusterangan dan keberanian si pelaku, melapor langsung kepada Nabi, itu karena dia yakin bahwa Nabi akan memberikan putusan yang adil. Dia tidak ragu dengan kapasitas dan integritas Nabi untuk memberikan hukum yang adil terhadap dirinya. Nabi Muhammad mendapatkan kepercayaan penuh dari orang tersebut. Bisakah umatnya ini diposisikan oleh orang lain sebagai orang yang mendapatkan kepercayaan penuh seperti itu.
Ketiga, pihak pelanggar. Pria dalam kisah hadits tersebut tergolong orang yang jujur dan berani mengaku pelanggaran hukum yang telah dilakukannya. Sebagai sebuah contoh, peristiwa ini memberikan teladan baik bagi umat berikutnya.
Diantara makna dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa hukum dalam Islam mendahulukan kasih sayang bagi manusia. Dan baginda Rasul sebetulnya tidak menghendaki umatnya dikenai hukuman jika memungkinkan. Peristiwa lain juga dapat dilihat dalam peristiwa seseorang yang melapor kepada baginda Rasul bahwa dirinya telah berbuat berzina. Dalam kasus ini beliau menolak beberapa kali untuk menjawab sampai benar-benar valid kasusnya.
Peristiwa seseorang yang melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang bolong, sementara dirinya sedang berpuasa, merupakan pelanggaran terberat dalam hukum puasa Ramadan. Bayangkan saja, kafaratnya harus memerdekan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut dan atau memberi makan 60 orang miskin. Bisa dibayangkan kondisi cuaca yang ekstrem di timur tengah dan kondisi ekonomi pada zaman Nabi Muhammad, tentulah sangat berat pelaksanaannya.
Jika mau dipertegas, harusnya pria yang telah melanggar peraturan itu tidak bisa lepas dari sanksi hukum. Namun, yang terjadi malah uluran kasih sayang dari Allah Yang Maha Penyayang lewat pribadi agung utusannya, baginda Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kasih sayang memang perihal agung yang diutamakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam Asma’ul Husna, urutan teratas dari nama Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim, di atas nama-nama Allah yang lain. Berikutnya berurutan nama-nama-Nya yang meliputi Keperkasaan, Kebesaran, Keagungan dan nama-nama-Nya yang mengerikan. Namun, kasih sayang-Nya bertengger di atas nama-nama tersebut.
Begitu juga Nabi kesayangan-Nya, digelari dengan Ra’uf dan Rahim. Ra’uf berasal dari kata Ra’fah yang artinya belas kasihan atau iba, tidak mau menyakiti orang lain. Dan Rahim berasal dari kata Rahmah yang artinya belas kasih atau kasih sayang, menyayangi orang lain. Jika hal ini dicermati, maka perihal kasih sayang ialah urusan yang sangat esensial dalam agama Islam. Tinggal bagaimana manusia selaku hamba Allah dan umat Nabi Muhammad ini menyerap rasa iba dan kasih sayang untuk diterapkan kepada diri sendiri dan orang lain.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, rasa iba dan kasih sayang terkadang datang dan pergi. Ketika dihinggapi rasa iba dan kasih sayang, manusia sangat baik. Tetapi ketika rasa iba dan kasih sayang pergi, manusia menjadi jahat bahkan lebih buas dari binatang. Praktek kejahatan terjadi, karena rasa iba dan kasih sayang manusia hilang.
Manusia yang baik ialah manusia yang rasa iba dan kasih sayangnya menempel terus di hatinya. Manusia yang seperti itu, hidupnya gembira. Dia bersyukur jika dirinya mendapatkan kesenangan dan dia senang jika orang lain mendapatkan kesenangan. Dia termasuk kategori orang beriman dalam sabda Nabi:
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abi Hamzah Anas bin Malik r.a, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian, sehingga orang itu menyukai kepada saudaranya, apa yang dia sukai pada dirinya”
Misalnya, jika seseorang senang karena dapat membeli mobil, maka dia juga ikut senang ketika orang lain membeli mobil. Jika seseorang senang karena mendapatkan laba rizqi yang melimpah, maka dia juga ikut senang ketika orang lain mendapatkan laba rizqi yang melimpah. Jika seseorang senang karena berhasil mendapatkan jabatan, maka dia juga ikut senang ketika orang lain berhasil mendapatkan jabatan. Mulianya hati yang seperti itu.
Itu semua bermula dari hati yang penuh iba dan kasih sayang terhadap sesama. Dan hati yang penuh iba dan kasih sayang akan bermunculan darinya cahaya-cahaya positif. Peka terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain bahkan peka terhadap pesan-pesan suci yang terdalam dari Sang Ilahi. Dia peka bahwa Tuhannya Maha Pengasih. Tuhan telah menjamin rizqi bagi hamba-hamban-Nya. Dan manusia yang peka terhadap Rabb-nya hidupnya tenang terarah. Karena terkadang manusia ini salah kaprah dalam menjalani hidup. Apa yang dijamin Allah, manusia malah bingung berupaya. Sementara apa yang dituntut Allah, manusia malah santai tidak berupaya, malah kadang menyia-nyiakannya.
والله أعلم بالصواب
Penulis: Nur Yasin (Dosen STAIBU Lumajang)