Kebijaksanaan dalam Kegilaan: Hikmah dari Kisah Bahlul dan Khalifah Harun Al-Rasyid

oleh -dibaca 387 orang

Istilah “bahlul” sering dipakai untuk menyebut orang yang dianggap bodoh atau gila. Namun, asal kata ini sebenarnya berasal dari kisah nyata seorang bernama Bahlul, tokoh yang hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid. Kisah ini diabadikan dalam kitab Uqalâul Majânîn (Orang-orang Gila yang Berakal) karya al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Naisaburi.

Dikisahkan, pada suatu hari Khalifah Harun Al-Rasyid melewati Bahlul yang sedang duduk di dekat kuburan. Harun bertanya, “Wahai Bahlul, kapan kamu akan berakal?” Mendengar pertanyaan itu, Bahlul bangkit, memanjat pohon, dan dengan suara lantang berkata, “Wahai Harun yang gila, kapan engkau sadar?”

Harun menghampiri pohon dengan kudanya dan bertanya, “Siapa yang gila, aku atau engkau yang selalu duduk di kuburan?” Bahlul menjawab, “Aku berakal, karena aku tahu bahwa gedungmu akan hancur dan kuburan ini kekal. Maka aku memakmurkan kubur sebelum gedung. Sedangkan engkau memakmurkan gedungmu dan menghancurkan kuburmu, sehingga engkau takut dipindahkan ke kuburan. Padahal engkau tahu bahwa engkau pasti masuk kesana.”

BACA JUGA:   Peran Strategis Pondok Pesantren Lestarikan Ajaran Aswaja 

Perkataan Bahlul mengguncang hati Harun hingga ia menangis. Dengan air mata bercucuran, ia berkata, “Demi Allah, engkau benar. Tambahkan nasihatmu untukku, wahai Bahlul.” Bahlul menjawab, “Cukup bagimu Al-Qur’an sebagai pedoman.”

Harun lalu menawarkan bantuan, tetapi Bahlul meminta tiga hal, yaitu memperpanjang umurnya, melindunginya dari malaikat maut, dan memastikan surga baginya. Ketika Harun mengaku tak mampu, Bahlul dengan bijak menjawab, “Ketahuilah, wahai khalifah. Engkau adalah seorang hamba, bukan pemilik. Aku tidak butuh kepadamu.”

Harun lalu menawarkan permintaan kepada Bahlul, “Apa engkau memiliki permintaan, wahai Bahlul? Aku akan penuhi.” Bahlul menjawab, “Aku punya tiga keinginan, jika kau memenuhinya aku akan sangat berterima kasih padamu”. “Katakan apa itu,” tanya Kahlifah.

BACA JUGA:   Menakar Politik Kembar Mayang Lumajang

“Tambahkan umurku!” kata Bahlul. “Aku tak bisa”. jawab Sang Khalifah.

“Lindungi aku dari malaikat pencabut nyawa!” “Aku tak bisa”.

“Masukkan aku ke dalam surga, dan jauhkan aku dari api neraka!” “Aku tak bisa,” jawab sang khalifah.

Lagi-lagi Sang Khalifah tak mampu memenuhi keinginan Bahlul. Lalu Bahlul, berkata: “Ketahuilah, wahai khalifah. Engkau itu dimiliki (seorang hamba), bukan pemilik (Tuhan). Aku tidak butuh kepadamu.”

Kisah ini memberikan banyak pelajaran mendalam, antara lain:

1. Dunia Fana, Akhirat Kekal

Bahlul menunjukkan bahwa manusia sering terjebak dalam kemegahan dunia, lupa bahwa akhirat adalah tempat tinggal yang abadi. Maka, mempersiapkan diri untuk akhirat adalah tindakan orang yang benar-benar berakal.

BACA JUGA:   Money Politic Guna Perjuangkan Hak, Bolehkah?

2. Kesadaran akan Keterbatasan Manusia

Harun, meski sebagai khalifah besar, menyadari bahwa kekuasaannya tak mampu melampaui takdir Allah. Kematian dan nasib akhirat adalah urusan Allah semata.

3. Kebijaksanaan dalam Kesederhanaan

Dalam “kegilaan” Bahlul, terdapat hikmah yang dalam. Ia mengajarkan bahwa nilai sejati tidak terletak pada jabatan atau harta, tetapi pada ketaatan kepada Allah.

Sebagaimana nasihat Bahlul, Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang mencakup segala hikmah. Semoga kisah ini mengingatkan kita untuk mempersiapkan bekal akhirat sebelum terlambat.