Puasa Ramadhan diwajibkan bagi setiap orang-orang yang beriman, yakni mereka yang telah baligh, berakal dan tidak memiliki udzur syar’i. Namun bagaimana dengan ibu hamil atau sedang menyusui, apakah boleh tidak berpuasa? Menurut perkiraan pribadi atau petunjuk dokter?
Sebagaimana dilansir NU Online, Ibu hamil boleh melaksanakan puasa wajib selama dirinya merasa yakin dan telah berkonsultasi dengan dokter terkait kondisi dirinya.
Demikian pula wanita menyusui, boleh tidak puasa bila mengkhawatirkan kesehatan dirinya, bayinya, atau diri dan bayinya sekaligus. Inilah prinsip umum keringanan boleh tidak berpuasa bagi keduanya.
Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Kitab Fathul Qarib menjelaskan:
والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما) ضررا يلحقهما بالصوم كضرر المريض (أفطرتا، و) وجب (عليهما القضاء وإن خافتا على أولادهما) أي إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع ( أفطرتا وعليهما القضاء) للإفطار (والكفارة) أيضا. والكفارة أن يخرج (عن كل يوم مد)
Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir terhadap bahaya yang mengganggu kesehatan dirinya sebab melakukan puasa, seperti bahayanya orang sakit, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya. Bila mereka khawatir terhadap bahaya yang menimpa anaknya, yaitu anaknya keguguran bagi wanita hamil, dan air susu menjadi sedikit bagi wanita menyusui, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya karena tidak puasa dan wajib membayar kafarat atau tebusan. Adapun ukuran kafarat yang dimaksud adalah dari setiap hari wajib membayar satu mud (kurang lebih 7 ons) makanan pokok.” (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib pada Hasyiyah Al-Bajuri, [Semarang, Toha Putera], juz I, halaman 300-301).
Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah istilah “khauf” atau khawatir. Khawatir di sini adalah dugaan kuat berdasarkan indikator yang jelas bahwa gangguan kesehatan tersebut akan terjadi bila nekat berpuasa.
أَمَّا الْخَوْفُ: فَهُوَ تَوَقُّعُ مَكْرُوهٍ عَنْ أَمَارَةٍ مَظْنُونَةٍ أَوْ مُتَحَقَّقَةٍ
Artinya, “Kekhawatiran adalah ketakutan terjadinya hal yang tidak disenangi berdasarkan indikator yang bersifat dugaan atau yang bersifat pasti.” (Al-Maushu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Mesir, Darus Shafwah: 1404 H], juz XXVII, halaman 214).
Kekhawatiran tidak bisa hanya berdasarkan kira-kira tanpa ada indikator yang menunjukkan gangguan kesehatan benar-benar akan terjadi. Dalam istilah fiqih perkiraan tanpa indikator yang mendukung seperti itu disebut sebagai “wahm” atau “tawahhum”, yang tidak cukup untuk dijadikan dasar orang tidak berpuasa.
التَّوَهُّمُ فِي اللُّغَةِ : الظَّنُّ . وَفِي الاِصْطِلاَحِ عَرَّفَهُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهُ : تَجْوِيزُ وُجُودِ الشَّيْءِ فِي الذِّهْنِ تَجْوِيزًا مَرْجُوحًا … لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ التَّوَهُّمَ بِالْمَعْنَى الْمُتَقَدِّمِ لاَ عِبْرَةَ لَهُ فِي الأَْحْكَامِ
Artinya, “Tawahhum dalam bahasa bermakna dugaan. Sementara dalam istilah fiqih sebagian Fuqaha mendefinisikannya dengan pengertian membenarkan wujudnya sesuatu di hati dengan pembenaran yang tidak unggul (daripada kemungkinan sebaliknya) … Tidak ada perbedaan pendapat di antara Fuqaha dalam hal bahwa tawahhum dengan arti seperti itu tidak dipertimbangkan dalam hukum.” (Al-Kuwaitiyah, XIV/203).
Lalu kekhawatiran dengan dasar atau indikator seperti apa yang membolehkan wanita hamil boleh tidak berpuasa?
Dalam hal ini kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pengalaman atau petunjuk dokter.
Semisal wanita hamil atau wanita menyusui pernah mengalami gangguan kesehatan baik diri atau bayinya karena nekat berpuasa. Di waktu berikutnya bila ada indikasi ia akan sakit bila nekat berpuasa, seperti badannya mulai lemas dan semisalnya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan pengalaman yang telah berlalu.
Atau semisal wanita hamil atau wanita menyusui khawatir akan mengalami gangguan kesehatan baik pada diri atau bayinya bila nekat berpuasa, lalu ia chek kesehatan dan diberi petunjuk oleh dokter untuk tidak berpuasa dahulu demi menjaga kesehatannya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan petunjuk dokter itu.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
الحمل والرضاع: يباح للحامل والمرضع الإفطار إذا خافتا على أنفسهما أو على الولد ، سواء أكان الولد ولد المرضعة أم لا، أي نسباً أو رضاعاً، وسواء أكانت أماً أم مستأجرة، وكان الخوف نقصان العقل أو الهلاك أو المرض، والخوف المعتبر: ما كان مستنداً لغلبة الظن بتجربة سابقة، أو إخبار طبيب مسلم حاذق عدل
Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui. Bagi wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir atas kesehatan mereka atau kesehatan anak, baik anak yang disusui itu adalah anak wanita yang menyusui atau bukan, maksudnya anak biologis atau anak karena persusuan, baik yang menyusui itu ibunya atau wanita yang disewa untuk menyusui anak orang lain, dan baik kekhawatiran itu adalah khawatir berkurangnya akal anak, khawatir mati atau sakit. Kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pada dugaan kuat sebab pengalaman yang telah lalu atau berita petunjuk dari seorang dokter muslim, yang pandai dan adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh), [Damaskus, Darul Fikr], juz III, halaman 78).
Penjelasan serupa dapat dilihat di Kitab Al-Lubab fi Syarhil Kitab halaman 86 dan Kitab Nurul Idhah halaman 111.
Maka ringkasnya adalah wanita hamil yang sering kelelahan boleh tidak berpuasa dengan dasar pengalamannya atau berdasarkan petunjuk dokter yang dapat dipercaya kalau nekat berpuasa akan sakit. Sebaliknya, ia tidak boleh tidak berpuasa hanya berdasarkan perkiraan akan sakit bila berpuasa, tanpa indikator yang menguatkan perkiraannya tersebut.
Wallahu a’lam.