Sampah plastik sering dibicarakan dengan bahasa moral dan lingkungan. Sekarang coba kita gunakan satu bahasa lain yang lebih jujur dan sulit dibantah, yaitu bahasa matematika. Matematika tidak berdebat soal niat ataupun keprihatinan, tetapi menunjukkan kenyataan lewat angka, laju pertumbuhan, dan keseimbangan sistem.
Dalam sudut pandang matematika, sampah plastik adalah persoalan pertumbuhan yang tidak terkendali. Setiap hari plastik diproduksi, dipakai, lalu dibuang. Jika 1 orang menghasilkan sekitar 0,5 kg sampah per hari, maka dalam 1 bulan ia menyumbang sekitar 15 kg, dan dalam 1 tahun mendekati 180 kg. Ketika angka ini dikalikan dengan jumlah penduduk 1 kabupaten, persoalannya tidak lagi kecil. Ia berubah menjadi deret yang terus naik, sementara variabel pengurangnya nyaris tidak bergerak.
Di Kabupaten Lumajang, persoalan ini dapat dibaca cukup jelas melalui data timbulan sampah. Berdasarkan dokumen perencanaan daerah dan rilis Dinas Lingkungan Hidup, potensi timbulan sampah Lumajang berada pada kisaran rata-rata 500 ton per hari. Angka ini bukan hasil penimbangan harian satu per satu, melainkan estimasi statistik berdasarkan jumlah penduduk dan rata-rata timbulan per kapita. Justru di situlah maknanya, karena angka ini menunjukkan beban sistem yang harus ditanggung setiap hari.
Secara statistik, gambaran sampah di Lumajang dapat diringkas sebagai berikut. Total potensi timbulan sampah sekitar 183.096 ton per tahun atau setara sekitar 500 ton per hari. Rata-rata timbulan sampah per orang sekitar 0,48 kg per hari. Komposisi sampah organik sekitar 40 persen. Komposisi sampah plastik berada di kisaran 17 sampai 18 persen dari total timbulan
Jika persentase plastik itu diterjemahkan ke dalam angka nyata, maka dari sekitar 500 ton sampah per hari, kurang lebih 85 sampai 90 ton di antaranya adalah plastik. Ini berarti setiap hari Lumajang harus berhadapan dengan puluhan ton material yang sulit terurai dan akan tetap berada di lingkungan dalam waktu sangat lama.
Masalahnya bukan hanya jumlah, tetapi juga arah pergerakan sampah tersebut. Lumajang adalah wilayah dengan struktur alam lengkap dari hulu hingga hilir. Di barat terdapat jalur pegunungan Tengger, di timur Gunung Lemongan, di utara terbentang lembah Ranuyoso-Klakah, sementara di selatan seluruh aliran bermuara ke laut dari Pasirian hingga Yosowilangun. Dalam bahasa matematika, ini adalah 1 sistem aliran berjenjang. Apa yang dilepas di atas hampir pasti memengaruhi wilayah di bawahnya.
Ketika sampah plastik tidak tertangani dengan baik di wilayah hulu dan perbukitan, ia bercampur dengan tanah dan vegetasi. Saat hujan deras, massa ini bergerak lebih berat dan lebih licin, meningkatkan risiko longsor dan banjir bandang. Dampaknya tidak berhenti di lereng, tetapi terbawa turun mengikuti aliran air.
Memasuki wilayah lembah dan dataran tengah, sampah berfungsi sebagai penyumbat. Sungai dan saluran irigasi kehilangan kapasitas alirnya. Secara matematis, ketika debit air meningkat sementara penampang aliran menyempit, maka limpasan adalah keniscayaan. Banjir menjadi lebih sering, bahkan tanpa hujan ekstrem, merusak sawah, infrastruktur, dan permukiman.
Di danau dan perairan tertutup sekitar Lemongan, sampah plastik menciptakan bencana yang tidak selalu terlihat. Plastik terurai menjadi mikroplastik, masuk ke rantai makanan, dan perlahan menurunkan kualitas air serta memengaruhi kesehatan manusia. Ini adalah akumulasi risiko yang sering luput karena tidak langsung terasa.
Semua aliran akhirnya menuju wilayah selatan. Di muara dan pesisir, sampah plastik mempercepat pendangkalan sungai, memperparah banjir saat hujan dan pasang laut bertemu, serta merusak ekosistem laut. Dampaknya terasa langsung oleh nelayan, petani tambak, dan masyarakat pesisir.
Matematika juga mengajarkan efisiensi. 1 botol plastik yang digunakan 1 kali memiliki nilai guna yang sangat kecil dibanding dampak lingkungannya. Namun ketika digunakan ulang hingga 10 kali, laju pertumbuhan sampah dapat ditekan hingga sekitar 90 persen. Perubahan kecil pada perilaku menghasilkan perbedaan besar pada hasil akhir.
Pada akhirnya, matematika mengenal konsep limit. Setiap sistem memiliki batas, termasuk alam. Sungai, tanah, dan laut memiliki daya tampung. Jika sampah plastik terus bertambah tanpa kendali, Lumajang sedang bergerak mendekati batas daya dukung wilayahnya. Dan ketika batas itu terlampaui, bencana tidak lagi datang sebagai kejutan, melainkan sebagai akibat yang secara matematis dapat diprediksi.
Mengelola sampah plastik bukan sekadar soal kebersihan, tetapi soal menata ulang persamaan hidup. Mengubah variabel, menurunkan laju pertumbuhan, dan menyeimbangkan sistem dari hulu hingga hilir. Karena dalam matematika, persamaan yang baik bukan yang besar angkanya, tetapi yang seimbang dan berkelanjutan.
Penulis: H. Agus Ahmadi, S.Pd. (Ketua PAC GP Ansor Klakah)










