Tidak ada yang salah dengan pernikahan, karena pernikahan adalah jalan terbaik untuk menjaga diri dan agama seseorang dari kemaksiatan. Namun bagaimana jika pelaku pernikahan secara finansial belum cukup mapan, sedangkan provokasi untuk menghindari zina lebih kuat dan mengharuskan diri untuk segera menikahi pilihan hatinya?
Pasti terbesit dan mungkin saja tertancap kuat pola pikir ‘menikah dulu, rejeki nanti pasti ikut’, ‘menikah saja, pintu rejeki akan terbuka setelah menikah’. Apakah salah pola pikir seperti ini mengingat angka perceraian terbesar berangkat dari kasus perekonomian?
Pola pikir di atas bisa jadi salah dan juga bisa jadi benar. Pasalnya ada beberapa hal yang harus diketahui agar pola pikir tersebut bisa jadi benar. Allah menyebutkan dalam Firman-Nya:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur : 32)
Sekilas, ayat ini tampak seperti janji bahwa menikah pasti membawa rezeki dan akan kaya. Akhirnya, banyak orang menganggap pernikahan sebagai solusi instan untuk menjadi kaya, bahkan membuat sebagian anak muda terburu-buru menikah dengan harapan hidup mereka akan lebih mudah. Padahal, menikah bukan hanya soal rezeki materi, tetapi juga tanggung jawab, komitmen, dan kesiapan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Rezeki dalam pernikahan memang ada, tetapi bukan datang begitu saja, melainkan harus diusahakan bersama dengan kerja keras, sikap saling mendukung, dan keberkahan yang didapat dari membangun rumah tangga yang harmonis.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib jilid XXIII halaman 371 menjelaskan:
الْأَصَحُّ أَنَّ هَذَا لَيْسَ وَعْدًا مِنَ اللَّه تَعَالَى بِإِغْنَاءِ مَنْ يَتَزَوَّجُ. بَلِ الْمَعْنَى لَا تَنْظُرُوا إِلَى فَقْرِ مَنْ يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ أَوْ فَقَرِ مَنْ تُرِيدُونَ تَزْوِيجَهَا فَفِي فَضْلِ اللَّه مَا يُغْنِيهِمْ، وَالْمَالُ غَادٍ وَرَائِحٌ، وَلَيْسَ فِي الْفَقْرِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الرَّغْبَةِ فِي النِّكَاحِ، فَهَذَا مَعْنًى صَحِيحٌ وَلَيْسَ فِيهِ أَنَّ الْكَلَامَ قُصِدَ بِهِ وَعْدُ الْغِنَى حَتَّى لَا يَجُوزَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ خُلْفٌ
Artinya: “Pendapat yang lebih benar adalah bahwa ayat ini bukanlah janji dari Allah Ta’ala untuk menjadikan orang yang menikah menjadi kaya. Namun, maknanya adalah: Janganlah kalian melihat kemiskinan seseorang yang melamar kepada kalian atau kemiskinan seseorang yang ingin kalian nikahkan. Sebab, dalam karunia Allah terdapat kecukupan bagi mereka. Harta itu datang dan pergi, dan kemiskinan bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk berkeinginan menikah. Ini adalah makna yang benar, dan tidak berarti bahwa ayat ini mengandung janji pasti tentang kekayaan sehingga mustahil terjadi sebaliknya.”
Kemudian, kata Imam Fakhruddin Ar-Razi, jika ada yang bertanya, “Mengapa kita melihat ada orang yang kaya lalu menikah, tetapi kemudian menjadi miskin?”
Jawabannya adalah sejatinya janji Allah bergantung pada kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 28)
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah berkuasa penuh dalam menentukan rezeki setiap hamba. Menikah tidak selalu menjamin kelapangan rezeki, karena semuanya bergantung pada ketetapan Allah.
Ada kalanya, seseorang justru diuji dengan keterbatasan harta setelah menikah, sebagai bagian dari hikmah yang lebih besar untuk melatih kesabaran dan menguatkan iman.
Kekayaan dalam ayat ini tidak hanya berarti harta, tetapi juga mencakup kehormatan dan kesucian diri. Dengan menikah, seseorang bisa mendapatkan kekayaan batin, seperti terhindar dari perbuatan yang dilarang, misalnya zina.
Meskipun secara materi seseorang mengalami kesulitan setelah menikah, ia tetap mendapatkan keberkahan lain, seperti ketenangan jiwa dan penjagaan terhadap nilai-nilai moral. Karena itu, kita harus memahami rezeki sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah yang lebih luas.
Dalam menikah, harus memiliki pasangan yang tepat. Karena sudah jadi rahasia umum bahwa setiap rumah tangga pasti akan menghadapi situasi keterbatasan bahkan kekurangan. Sekalipun keduanya sudah bekerja keras dan usaha maksimal untuk menghidupi perekonomian keluarga, pasti di tengah jalan akan mereka temui kerikil-kerikil yang menghambat perjalanan mereka.
Dalam poin ini, posisi istri sangat berpengaruh kepada ketentraman dan ketenangan bahtera rumah tangga. Pekerjaan ini bukan beban dan bukan bentuk tekanan kepada istri agar tetap menjaga keharmonisan rumah tangga, bukan.
Salah satu hikmah ditakdirkannya perempuan untuk laki-laki karena pada dasarnya perempuan terbekali jiwa-jiwa kasih dan lembut, untuk urusan menenangkan sepertinya pantas disandangkan kepada jiwa satu ini, perempuan.
Masalah perekonomian bisa menjadi badai besar perusak sebuah rumah tangga. Bagaimana tidak, tanpa uang seseorang bisa bingung mau makan apa, belum lagi jika dihadapkan dengan permintaan anak yang bermacam-macam. Namun juga jangan dilupakan, ada lagi badai lebih besar selain menghadapi perkara ekonomi yang kurang. Yakni istri yang susah menerima keadaan, hobi mengomel dan memaki suaminya.
Apakah hanya istri yang harus paham? Tidak. Jaminan Allah akan terlaksana jika suami berusaha keras untuk mencukupi keluarganya. Jika sudah suami berusaha keras, kerja banting tulang dan istri tetap mengomel, maka sejatinya sang istri sudah menutup pintu rezeki dengan cara membanting pintunya.
Dengan demikian, menikah bukan jaminan rezeki datang begitu saja. Tak ada jaminan setelah menikah akan langsung menjadi kaya raya. Untuk itu, sebelum menikah, pastikan kalian siap sudah matang secara emosional dan secara ekonomi. Jangan sampai pernikahan yang diharapkan membawa kebahagiaan justru berakhir di pengadilan agama.